Konsep Kenabian Dalam Islam (Nubuwwah dan Risalah)

konsep kebenaran islam

Untuk memahami konsep kenabian Islam kita dapat mempelajarinya dari dua istilah utama yaitu Nabi dan Rasul. Menurut Sayyid Husein Afandi al-Jisr istilah Rasul memiliki arti manusia yang mendapatkan tugas khusus dari Allah SWT untuk menyampaikan pesan-Nya. Rasulullah yang mendapatkan wahyu memiliki kewajiban untuk mengajarkan kepada umatnya. Sedangkan yang dimaksud dengan Nabi yaitu manusia yang mendapatkan wahyu dan tidak memiliki kewajiban untuk mensyiarkannya kepada umat manusia.

Untuk itu dapat dikatakan bahwa setiap rasul adalah nabi akan tetapi seorang nabi belum tentu rasul. Meskipun demikian perbedaan tersebut bukan berarti melemahkan salah satu konsep tertentu. Kedua istilah tersebut memiliki kesamaan yaitu untuk mengajak seluruh umat manusia agar beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. Perintah Allah SWT kepada para nabi dan rasul yang utama adalah untuk menyebarkan ajaran Islam ke seluruh umat manusia. Hal tersebut dipertegas dengan adanya perjanjian antara para Nabi dan Rasul kepada Allah SWT. (Lihat Q.S. Ali Imran : 81-85).

Nabi Muhammad SAW merupakan nabi yang terakhir yang memiliki keistimewaan dibanding dengan nabi sebelumnya. Beliau mendapat tempat yang terhormat di sisi Allah SWT bahwa nabi Muhammad adalah Muhaymin yang artinya sebagai pengawas, rujukan, saksi dari kitab-kitab suci sebelumnya, sebagaimana yang tertulis dalam al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 48:

وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ بِٱلۡحَقِّ مُصَدِّقٗا لِّمَا بَيۡنَ يَدَيۡهِ مِنَ ٱلۡكِتَٰبِ وَمُهَيۡمِنًا عَلَيۡهِۖ

Artinya:

Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu;  (Q.S. Al-Ma’idah : 48)

Secara etimologi kata Nabi berasal dari kata al-Naba yang artinya berita yang berharga. Sedangkan secara terminologi kata al-Nabi memiliki makna seseorang yang diberi wahyu oleh Allah SWT. Adapun kata al-Rasul secara bahasa dapat diartikan sebagai pembawa berita. Dan secara istilah berarti manusia yang diutus oleh Allah SWT untuk menyampaikan berita khusus atau rahasia. Ahmad Musthafa Al-Maraghi dalam tafsirnya mengatakan bahwa para nabi pada hari kebangkitan nanti akan menjadi saksi bagi umatnya masing-masing.

Konsep Kebenaran Nubuwah dan Risalah

Istilah Nabi berasal dari bahasa Arab yaitu Al-Nabi yang memiliki akar kata nun, ba, dan wau (huruf mu’tal). Menurut Ibn Faris akar kata nun, ba, dan wau memiliki arti yaitu “sesuatu yang tinggi dari yang lainnya”. Menurut Al-Ashfahani para ulama nahwu memiliki pendapat yang berbeda mengenai asal kata al-Nabi. Sebagian ada yang mengatakan kata tersebbut berasal dari kata al-Nubuwwah yang artinya “sesuatu yang tinggi”.

Berbeda dengan pendapat tersebut, Hasan Habanakah berpendapat bahwa kata Nabi merujuk pada ism al-fa’il atau ism al-maf’ul. Dalam konteks ism al-fa’il kata nabi berarti “orang yang mengabarkan perkara ghaib yang diterimanya melalui wahyu”. Sedangkan secara ism al-maf’ul istilah nabi berarti orang yang dibebani dalam menyampaikan wahyu. Jadi, secara garis besar istilah Nabi memiliki makna yang menunjuk kepada orang yang memiliki kedudukan yang tinggi diantara manusia lainnya dan memiliki kewajiban untuk menyampaikan wahyu kepada seluruh umat manusia .

Istilah nabi diulang kurang lebih sebanyak 80 kali dalam al-Qur’an dalam berbagai bentuk. Kata nabi dalam bentuk tunggal (nabi) dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 54 kali, sedangkan dalam bentuk jama’ atau plural diulang sebanyak 16 kali (nabiyyun/nabiyyin), dalam bentuk plural yang tidak beraturan diulang sebanyak 5 kali, dan juga diulang sebanyak 5 kali dalam bentuk ism al-mashdar (nubuwwah).

Selain nabi, istilah yang digunakan al-Qur’an untuk menunjuk nabi adalah istilah ar-Rasul. Terminologi Rasul memiliki akar kata ra-sin-lam. Dalam Mu’jam Maqayis fi al-Lughah disebutkan bahwa akar kata tersebut memiliki makna dasar yaitu “mengutus, menolong”. Adapun al-Raghib al-Ashfahani mengatakan bahwa istilah ar-Rasul berarti “mengutus dengan penuh kelembutan”.

Di dalam al-Qur’an istilah yang menunjuk makna Rasul diulang sebanyak 513 dalam berbagai bentuk. Kata rasul/rusul diulang sebanyak 332 kali, kata arsala/yursilu/nursilu diulang sebanyak 113 kali, kata arsalat/arsalta/ursiltu diulang sebnyak 6 kali, kata mursal diulang sebanyak 41 kali, dan kata risalat diulang sebanyak 10 kali.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan rasul yaitu utusan yang bertugas untuk memberikan kabar gembira kepada orang-orang yang taat kepada Allah SWT. Bagi orang yang taat akan dijanjikan surga dan balasan yang baik di hari kiamat nanti sebagai imbalan atas ketaatannya. Dan begitu pula terhadap orang yang tidak taat kepada perintah Allah SWT. Mereka juga akan mendapatkan balasan atas kedurhakaannya ketika di dunia.

Dalam beberapa ayat, konsep berpikir juga memiliki makna relasional dengan konsep kebenaran nubuwwah dan risalah. Adapun fungsi nubuwwah di antaranya ialah menghilangkan tradisi taqlid buta dan kejumudan. Selain itu, fungsi lainnya ialah untuk menjelaskan makna dari al-Qur’an serta menentukan berbagai macam hukum Islam. Untuk itu, manusia diperintahkan untuk berpikir tentang hakekat diutusnya para nabi dan rasul. Adapun ayat-ayat yang berbicara tentang hal tersebut di antaranya ialah :

قُل لَّآ أَقُولُ لَكُمۡ عِندِي خَزَآئِنُ ٱللَّهِ وَلَآ أَعۡلَمُ ٱلۡغَيۡبَ وَلَآ أَقُولُ لَكُمۡ إِنِّي مَلَكٌۖ إِنۡ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَىٰٓ إِلَيَّۚ قُلۡ هَلۡ يَسۡتَوِي ٱلۡأَعۡمَىٰ وَٱلۡبَصِيرُۚ أَفَلَا تَتَفَكَّرُونَ ٥٠

Artinya :

Katakanlah: aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: “Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?” Maka Apakah kamu tidak memikirkan(nya)?” (Q.S. Al-An’am : 50)

Ayat tersebut sebenarnya berbicara mengenai kebenaran diutusnya para rasul sebagai pemberi peringatan serta kabar gembira kepada manusia. Hal tersebut dapat dipahami dari ayat sebelumnya yaitu al-An’am ayat 48-49. Perintah berpikir yang disampaikan merupakan bentuk penegasan bahwa antara orang yang buta (orang yang sesat) dan orang yang mampu melihat (orang yang mendapatkan petunjuk) memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Begitu pula antara orang mukmin dan kafir sangat berbeda.

Dan perbedaan tersebut sebenarnya telah terlihat dari redaksi ayat hal yastawi al-a’ma wa al-bashir afala tatafakkarun. Dengan kata lain, manusia diberi pendengaran dan penglihatan supaya dapat memikirkan segala apa yang disampaikan oleh para nabi kemudian melakukan apa yang telah ditunjukkan oleh para nabi.

Terminologi “al-a’ma wa al-bashir” dalam surat al-An’am : 50 juga dapat dipahami dengan dua kemungkinan. Yaitu jahil dan ‘alim, serta dhal dan muhtadi. Di antara kedua konsep yang memiliki lawan katanya masing-masing tersebut tidaklah sama. Ketidaksamaan antara konsep-konsep inilah yang seharusnya dipikirkan oleh manusia dengan hati yang mampu membedakan antara yang baik dan buruk.

Korelasi antara konsep berpikir dengan konsep kenabian Islam juga dapat ditemukan melalui Q.S. Al-A’raf : 184.

أَوَلَمۡ يَتَفَكَّرُواْۗ مَا بِصَاحِبِهِم مِّن جِنَّةٍۚ إِنۡ هُوَ إِلَّا نَذِيرٞ مُّبِينٌ ١٨٤

Artinya :

Apakah (mereka lalai) dan tidak memikirkan bahwa teman mereka (Muhammad) tidak berpenyakit gila. Dia (Muhammad itu) tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan lagi pemberi penjelasan.(Q.S. Al-A’raf : 184)

Adapun tujuan diperintahkannya memikirkan tentang konsep kenabian Islam dalam ayat ini ialah supaya manusia memahami aqidah para nabi dan rasul secara benar. Aqidah tersebut berfungsi sebagai contoh bagi manusia. Untuk mengetahui aqidah dan akhlak para rasul tentu kita harus merujuk pada kisah-kisah para nabi terdahulu. Dengan demikian, akan didapatkan berbagai macam pelajaran baik yang bersifat positif maupun negatif. Kemudian langkah selanjutnya yang harus dilakukan ialah mengambil pelajaran darinya dengan memikirkan berbagai macam latarbelakang kejadian-kejadian yang pernah dialami oleh para rasul tersebut.

Misalnya, kisah nabi Adam dan Iblis, Nuh dan Hud, Shaleh, Luth dan Syu’aib, dan lain sebagainya. Semua kisah para nabi tersebut menggambarkan ketauhidan mereka. Selain itu, kisah tentang nabi Musa dan Fir’aun serta kaumnya dan bani Israel pun patut untuk diambil pelajaran dari kisah mereka. Termasuk kisah nabi Muhammad SAW sebagai nabi yang terakhir. Sehingga dengan begitu manusia mampu mempelajari ketauhidan para nabi secara benar. Inilah gunanya berpikir tentang kenabian. Jadi, proses nubuwwah dan risalah benar-benar tidak sia-sia. Akan tetapi, banyak hal penting yang dapat dipikirkan dan diambil sebagai pelajaran.

Dalam perjalanan sejarah kenabian, para nabi selalu menghadapi dua model golongan umatnya. Pertama, mereka yang percaya (iman) atau membenarkan (tashdiq) kenabian. Kedua, mereka yng ingkar terhadap kebenaran yang dibawa oleh para nabi tersebut. Bahkan tidak jarang orang menganggap para nabi adalah orang-orang yang tidak waras (gila). Mereka itulah orang-orang yang kafir dan musyrik yang ditetapkan ancaman neraka bagi mereka pada hari akhir nanti sebagai balasan pengingkaran terhadap kebenaran kenabian dalam Islam.

Memang, berpikir dalam kebenaran kenabian ini telihat agak sulit. Sebab proses kenabian seringkali melibatkan mukjizat masing-masing yang berbeda-beda. Selain itu, setting masyarakatnya pun memiliki kemampuan (sihir) yang banyak pula sebagai penyaing mukjizat tersebut. Sehingga perlu pemikiran yang lebih mendalam untuk membedakan antara mana yang mukjizat dan mana yang sihir misalnya. Maka, berpikir secara benar dengan menggunakan cara pandang Islam sangat dibutuhkan sepaya umat Islam mampu memahami antara yang haqq dan bathil (ta’aqqul).

Konsep kenabian dalam Islam memiliki kedudukan yang istimewa. Keistimewaan tersebut dapat dilihat dari surat Yusuf : 111 yang menjelaskan bahwa pada sejarah kehidupan para nabi yang diberitakan dalam al-Qur’an terkandung pelajaran berharga bagi orang-orang yang menggunakan akalnya (Ulu-l-Albab). Artinya, pelajaran (‘ibrah) yang terkandung dalam kisah para nabi hakekatnya adalah untuk dipahami nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan para rasul. Memahami nilai dari sejarah tentu tidak dapat dipahami hanya dengan membaca kisahnya. Akan tetapi perlu ilmu pengetahuan dan kesadaran yang benar untuk mengaitkan antara kisah pada masa terdahulu dengan kehidupan saat ini.

Dalam al-Qur’an terdapat banyak sekali ayat yang mengisahkan sejarah para nabi. Dalam Q.S. as-Syu’ara’ Allah SWT menceritakan kisah para nabi di antaranya kisah nabi Nuh as. nabi Ibrahim as. nabi Musa as. nabi Hud as. nabi Shaleh as. nabi Luth as. dan nabi Syu’aib as. beserta para kaumnya. Semua kisah para nabi tersebut merupakan objek berpikir manusia agar mengambil pelajaran darinya dan tidak mengulangi apa yang telah dilarang oleh Allah SWT.

Syaikh al-Islam ibn Taymiyyah mengatakan bahwa dalam al-Qur’an juga banyak sekali ayat yang memberitakan kehidupan umat-umat yang mendustakan para nabi. Kisah tersebut juga meninggalkan pelajaran yang nasehat bagi umat saat ini. Umat yang mendustakan kebenaran nubuwwah telah disiksa dengan berbagai siksaan yang sangat pedih. Siksaan merupakan sunnatullah bagi siapa saja yang mendustakan (takdhib) kepada kebenaran yang disampaikan para nabi dan memilih jalan lain.

Untuk mempelajari berbagai siksaan yang diberikan Allah SWT kepada kaum para nabi, Lihat Q.S. Al-ankabut: 34-35, Q.S. As-Shaffat: 136-137, Q.S. Al-Hijr: 75-76, Q.S. Fathir: 44. Mengingkari kenabian dapat berdampak pada pengingkaran terhadap kebenaran Allah SWT. Sebab yang para nabi dan rasul merupakan manusia istimewa yang dipercaya oleh Allah SWT untuk mengajak manusia ke jalan yang benar (haqq).

Allah SWT mengabarkan dalam al-Qur’an tentang kehancuran umat yang mendustakan agama-Nya dan juga mengabarkan tentang keselamatan bagi para pengikut nabi-Nya. Oleh sebab itu dalam surat Asy-Syu’ara’ dijelaskan kisah para nabi dengan menyebutkan sekaligus siksaan bagi yang mendustakan mereka. Namun pada hakekatnya, tujuan utama dari kisah tersebut dapat dipahami melalui surat as-Syu’ara’ ayat 8-9.

  إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَةٗۖ وَمَا كَانَ أَكۡثَرُهُم مُّؤۡمِنِينَ ٨ وَإِنَّ رَبَّكَ لَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلرَّحِيمُ ٩

Artinya:

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat suatu tanda kekuasaan Allah. Dan kebanyakan mereka tidak beriman. Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. (Q.S. Asy-Shu’ara’ : 8-9)

Dalam ayat di atas diakhir dengan dua nama Allah SWT yang mulia yaitu al-aziz dan al-rahim. Al-aziz sebagai wujud penegasan kepada para musuh Allah SWT bahwa tidak ada kekuatan yang lebih tinggi dari kekuasaan Allah SWT yang meliputi langit dan bumi. Kemudian sifat al-rahim merupakan bentuk kasih sayang Allah SWT yang diberikan kepada para nabi dan umatnya yang percaya terhadap risalah yang disampaikan.

Para nabi Allah SWT merupakan manusia yang memiliki sifat tawakkal yang sangat tinggi. Mereka juga memiliki akhlak yang sangat mulia, keberanian yang tinggi, iman yang kuat, kemuliaan yang melebihi manusia biasa, serta ketaqwaan yang kuat kepada Allah SWT. Sifat-sifat mulia inilah yang dapat dipelajari dan dicontoh dari konsep kebenaran nubuwwah sehingga untuk menjadi manusia yang mulia (Ulu-l-Albab) sudah seharusnya menerapkan sifat yang dicontohkan para nabi ke dalam kehidupan sehari-hari.

4 Responses

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *