Pendekatan semantik merupakan salah satu ilmu yang dapat digunakan untuk menganalisa konsep al-Qur’an. Suatu kosa kata pada dasarnya merupakan suatu sistem dari bentuk-bentuk “articulatory”, yang menurut sistem tersebut kata bersimpangan secara terus-menerus dengan sejumlah kenyataan dan peristiwa tertentu. Menurut Benjamin Whorf, setiap bahasa merupakan “analisis sementara dari realitas”, karena bahasa bersimpangan dengan sifat dasar secara berbeda (language dissect nature differently).
Setiap kosa kata atau sistem konotatif, mewakili dan mewujudkan sebuah pandangan dunia yang khas yang mentransformasikan bahan pengalaman yang masih mentah ke dalam dunia yang penuh makna “tertafsirkan”. Kosa kata terdiri dari sejumlah sub-kosa kata yang muncul secara berdampingan, biasanya di antara bidang-bidang yang saling melengkapi.
Dan jaringan konseptual yang dibentuk oleh istilah-istilah merupakan satuan dari sub-kosa kata yang terdiri dari sejumlah konseptual yang relatif independen, yang masing-masing memiliki pandangan dunianya sendiri.
Dalam upaya memahami makna al-Qur’an, ada banyak cara untuk mengetahui suatu makna dari kata asing. Dan yang paling sederhana dan paling umum ialah dengan memberikan padanan kata (sinonim) dalam bahasa penuturnya sendiri.
Contohnya, kata dalam bahasa Arab “kafir” memiliki padanan kata dalam bahasa Inggris “misbeliever” atau “orang yang tidak percaya”, kata “zalim” berarti “evil doer” atau “orang yang menganiaya”, “dhanb” berarti “sin” (dosa), dll. Dari persamaan kata antara bahasa Arab dan bahasa Inggris terkadang dapat dipahami maknanya secara langsung karena terdapat kedekatan maknanya.
Akan tetapi banyak juga istilah yang tidak sesuai bahkan bertentangan secara konseptual. Misalnya, kata “zalim”, tidak dapat dikatakan secara tepat sebagai “evil doer”, antara “kafir” dengan “misbeliever” juga terdapat perbedaan yang sangat penting yang tidak boleh diabaikan.
Pengertian kata “zalim” dengan “evil doer” hanya merupakan langkah awal saja untuk mengidentifikasi kategori makna “zalim”. Akan tetapi, antara “evil doer” dengan kata “zulm” sangatlah berbeda maknanya. Dan jika dipaksakan sama, maka ada kemungkinan terjadi distorsi bahasa atau distorsi makna.
Untuk itu, perlu kiranya melakukan transformasi definisi kata dengan kata melalui definisi langsung yang mengkorelasikan kata tersebut secara langsung dengan bentuk realitas non-linguistik yang jelas. Untuk mengetahui kategori pendekatan semantik suatu kata arab diperlukan pengetahuan tentang keadaan kata itu, bagaimana jenis sifatnya, bagaimana bentuk perbuatannya berdasarkan arab kuno yang berdasarkan al-Qur’an.
Adapun contoh penggunaan kata “zalim” dapat dilihat dalam ayat berikut ini:
وَنَادَىٰٓ أَصۡحَٰبُ ٱلۡجَنَّةِ أَصۡحَٰبَ ٱلنَّارِ أَن قَدۡ وَجَدۡنَا مَا وَعَدَنَا رَبُّنَا حَقّٗا فَهَلۡ وَجَدتُّم مَّا وَعَدَ رَبُّكُمۡ حَقّٗاۖ قَالُواْ نَعَمۡۚ فَأَذَّنَ مُؤَذِّنُۢ بَيۡنَهُمۡ أَن لَّعۡنَةُ ٱللَّهِ عَلَى ٱلظَّٰلِمِينَ ٤٤
Artinya :
“Dan penghuni-penghuni surga berseru kepada penghuni-penghuni neraka (dengan mengatakan): “Sesungguhnya Kami dengan sebenarnya telah memperoleh apa yang Tuhan Kami menjanjikannya kepada kami. Maka Apakah kamu telah memperoleh dengan sebenarnya apa (azab) yang Tuhan kamu menjanjikannya (kepadamu)?” mereka (penduduk neraka) menjawab: “Betul”. kemudian seorang penyeru (malaikat) mengumumkan di antara kedua golongan itu: “Kutukan Allah ditimpakan kepada orang-orang yang zalim. (44) (yaitu) orang-orang yang menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan itu menjadi bengkok, dan mereka kafir kepada kehidupan akhirat. (45). (Q.S. Al-A’raaf : 44-45)
Dalam studi al-Qur’an, yang menjadi objek kajian pendekatan semantik adalah makna teks al-Qur’an dan al-Hadith. Al-Qur’an adalah firman Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman hidup yang utama bagi manusia.
Sedangkan al-Hadith merupakan pedoman hidup yang utama setelah al-Qur’an. Al-Hadits digunakan sebagai penjelas dari makna al-Qur’an. Dalam hal ini, pendekatan semantik berupaya memberikan daya tambah terhadap dimensi pengertian dan makna yang terkandung dalam teks al-Qur’an tersebut.
Al-Qur’an (sebagai teks) merupakan objek yang selalu menarik untuk dikaji. Sebab, al-Qur’an merupakan kitab suci yang masih terjaga keotentikannya, baik dari segi bahasa maupun makna yang terkandung dalam bahasa yang digunakan (bahasa Arab). Dalam sejarahnya, al-Qur’an telah melakukan Islamisasi teks maupun konteks peradaban masa Jahiliyyah.
Oleh sebab itu, tidak menutup kemungkinan, ungkapan-ungkapan dalam bahasa al-Qur’an masih terkait juga dengan bahasa Arab pra Islam. Sebagaimana yang dilakukan oleh Toshihiko Izutsu dalam beberapa karyanya, seperti God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic Weltenschauung dan Ethico Religius Concepts in the Qur’an.
Salah satu contoh dari bentuk Islamisasi konsep masa Jahiliyyah ialah pengubahan makna terminologi “Allah”. Pada sistem pra Islam (Jahiliyyah), konsep Allah tidak lain adalah anggota dari salah satu medan semantik khusus. Sedangkan dalam al-Qur’an, tidak terdapat satu medan semantik (semantic field) pun yang tidak secara langsung berkaitan dengan dan diatur oleh konsep sentral Allah.
Artinya, konsep Allah dalam Islam merupakan konsep sentral dari semua konsep yang ada. Menurut Toshihiko Izutsu, al-Qur’an bisa didekati dengan sejumlah cara pandang yang beragam seperti teologi, psikologi, sosiologi, ilmu bahasa, tafsir, dan sebagainya. Dengan cara itu, al-Qur’an menunjukkan sejumlah perbedaan tergantung pada cara pandang yang digunakan.
Akan tetapi, perbedaan tersebut menunjukkan aspek yang sama-sama pentingnya. Begitu pula dengan cara pandang semantik yang akan menghasilkan nilai yang berbeda dengan cara pandang yang lain. Sebab, fungsi analisa pendekatan semantik sebagai cara pandang ialah mengungkap nilai-nilai yang terkandung dalam masalah-masalah yang belum banyak diungkap.
Adapun langkah-langkah untuk mengungkap makna kata dalam al-Qur’an dapat dilakukan dengan dua tahapan. Pertama, melacak makna dasar dan makna relasional. Makna dasar atau yang disebut juga dengan makna leksikal (lexical meaning, external meaning) adalah makna unsur-unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa, dan lain-lain.
Makna dasar ini dimiliki unsur-unsur bahasa secara tersendiri, terlepas dari konteks. Atau bisa juga diartikan sebagai semua makna (baik bentuk dasar maupun bentuk turunan) yang ada dalam kamus. Sedangkan makna relasional ialah makna gramatikal atau makna secara tata bahasa (grammatical meaning, structural meaning, internal meaning) atau makna yang menyangkut hubungan intra bahasa, atau makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya sebuah kata di dalam kalimat. Atau didefinisikan juga dengan hubungan antara kata dengan kata lain dalam frase atau klausa.
Adapun menurut Izutsu, makna relasional adalah sesuatu yang konotatif yang diberikan dan ditambahkan pada makna yang sudah ada dengan meletakkan kata itu pada posisi khusus dalam bidang khusus, berada pada relasi yang berbeda dengan semua kata-kata penting lainnya dalam sistem tersebut.
Dalam kajian pendekatan semantik al-Qur’an terdapat prinsip utama yaitu setiap kata dalam al-Qur’an tidak berdiri sendiri. Ia berhubungan satu sama lain dalam sebuah sistem bahasa al-Qur’an yang kemudian membentuk makna khusus kata tersebut. Kedua, menjelaskan weltanschauung semantik al-Qur’an.
Ini merupakan langkah terakhir dari kajian semantik. Artinya, kajian ini berusaha menyingkap pandangan dunia al-Qur’an terhadap kata-kata kunci yang dikaji. Setelah menentukan makna dasar dan makna relasional langkah selanjutnya yaitu menjelaskan bagaimana al-Qur’an menggunakan kata itu dan bagaimana hubungan kata itu dengan kata-kata yang lain, dimanakah posisinya, fungsinya, pengaruhnya dan sebagainya.
Majid bin Aziz Al-Zindani dalam Mukjizat al-Qur’an dan as-Sunnah Tentang IPTEK menjelaskan bahwa pendekatan ini berupaya, pertama, mengintegrasikan pendekatan linguistik dan pendekatan pragmatik (kontekstual) sebagai suatu studi bahasa yang sistemik. Kedua, pendekatan ini memungkinkan dimaksudkannya kemungkinan-kemungkinan makna atau konsep yang berasal dari maksud wahyu Allah SWT seperti yang mungkin tampak dalam keseluruhan sistem agama Islam.
Namun pada umumnya, terdapat beberapa metode dalam analisis pendekatan semantik untuk mengetahui makna suatu kata dalam al-Qur’an, sebagaimana berikut ini:
Pertama, dimana sebuah ayat telah menjelaskan secara kongkret dalam konteksnya dengan cara deskripsi verbal. Model analisa seperti ini disebut juga dengan ‘definisi kontekstual”. Model makna seperti ini dapat ditemukan dalam Q.S. Al-Baqarah: 177 yang menerangkan tentang makna “al-birr/kebajikan”.
۞لَّيۡسَ ٱلۡبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمۡ قِبَلَ ٱلۡمَشۡرِقِ وَٱلۡمَغۡرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلۡبِرَّ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ وَٱلۡكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّۧنَ وَءَاتَى ٱلۡمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينَ وَٱبۡنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّآئِلِينَ وَفِي ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَٱلۡمُوفُونَ بِعَهۡدِهِمۡ إِذَا عَٰهَدُواْۖ وَٱلصَّٰبِرِينَ فِي ٱلۡبَأۡسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَحِينَ ٱلۡبَأۡسِۗ أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُواْۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُتَّقُونَ ١٧٧
Artinya:
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa (Q.S. Al-Baqarah : 177)
Secara konteks ayat tersebut di atas, konsep “al-birr” bukanlah semata-mata merupakan menjalankan aturan-aturan formalitas agama, tetapi merupakan bentuk kebaktian sosial yang sesungguhnya muncul dari kepercayaan monoteistik kepada Tuhan.
Dalam ayat tersebut, kata “al-birr” terikat dengan konsep “as-sidq” (ketulusan dan kepercayaan) serta konsep “taqwa” atau “takut kepada Allah SWT”. Artinya kebaikan yang dilakukan kepada sesama manusia harus berlandaskan pada keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.
Kedua, memperhatikan secara khusus makna sinonim suatu kata tersebut untuk tujuan analisis. Kasus seperti ini dapat dilihat dalam Q.S. Al-A’raf : 94-95.
وَمَآ أَرۡسَلۡنَا فِي قَرۡيَةٖ مِّن نَّبِيٍّ إِلَّآ أَخَذۡنَآ أَهۡلَهَا بِٱلۡبَأۡسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ لَعَلَّهُمۡ يَضَّرَّعُونَ ٩٤ ثُمَّ بَدَّلۡنَا مَكَانَ ٱلسَّيِّئَةِ ٱلۡحَسَنَةَ حَتَّىٰ عَفَواْ وَّقَالُواْ قَدۡ مَسَّ ءَابَآءَنَا ٱلضَّرَّآءُ وَٱلسَّرَّآءُ فَأَخَذۡنَٰهُم بَغۡتَةٗ وَهُمۡ لَا يَشۡعُرُونَ ٩٥
Artinya:
Kami tidaklah mengutus seseorang nabipun kepada sesuatu negeri, (lalu penduduknya mendustakan nabi itu), melainkan Kami timpakan kepada penduduknya kesempitan dan penderitaan supaya mereka tunduk dengan merendahkan diri (94). Kemudian Kami ganti kesusahan itu dengan kesenangan hingga keturunan dan harta mereka bertambah banyak, dan mereka berkata: “Sesungguhnya nenek moyang kamipun telah merasai penderitaan dan kesenangan”, maka Kami timpakan siksaan atas mereka dengan sekonyong-konyong sedang mereka tidak menyadarinya (95). (Q.S. Al-A’raf : 94-95)
Dalam ayat tersebut frase “ba’sa dan dharra” digantikan oleh ayat berikutnya dengan frase lain yaitu “sayyiah” tanpa perubahan makna yang esensial. Dengan memperhatikan hal ini maka akan dapat diketahui secara pasti bahwa kata “sayyiah” memiliki kesamaan esensi makna dengan “jahat atau buruk”.
Ketiga, dengan memperhatikan dimana struktur semantik terminologi tertentu dijelaskan yang dengan menyebutkan lawan kata. Kata “kyair” misalnya, yang artinya “baik (good)”. Selain itu ada juga persamaan istilah tersebut yaitu “hasanah”. Perbedaan antara “khair” dengan “hasanah” akan menjadi jelas apabila kita mengetahui bahwa kata “khair” berlawanan dengan “syarr”, sedangkan “hasanah” berlawanan dengan “sayyiah”. Dengan menemukan salah satu makna saja dari keempat istilah tersebut, kita akan tahu makna ketiga kata lainnya.
Keempat, melihat suatu konsep dari istilah yang bersifat negatif. Misalnya, suatu ungkapan yang menerangkan “ini tidak baik”, secara tidak langsung kita akan mengetahui juga perilaku seperti apa yang biasanya disebut baik. Dalam konteks bahasa al-Qur’an, kita dapat mengambil contoh tentang istilah “istakbara” yang berarti “besar dengan kebanggaan”, “bertindak dengan sombong dan meremehkan”. Hal seperti ini dapat ditemukan seperti Q.S. As-Sajdah : 15.
Kelima, memperhatikan “bidang semantik” yang mengikat suatu kata dalam bentuk bahasa atau kalimat yang saling melengkapi. Kita bisa menganalisa akan hal ini dengan mengambil contoh kata “iftara” yang artinya “memalsukan” seringkali mengambil objek gramatikalnya dengan kata “kadhib” (dusta). Dengan demikian, keterpaduan dua istilah tersebut akan membentuk istilah baru/makna baru yaitu “zalim”. Maka, antara “iftara”, “kadhib” dan “zulm” yang telah membentuk frase yang sempurna dalam al-Qur’an yang khas. Jadi antara istilah satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan atau bahkan dianggap berbeda/berjauhan maknanya.
Keenam, memperhatikan terjadinya proses paralelisme retorik yang menghubungkan antara dua kata atau lebih. Contoh mengenai hal ini dapat dilihat pada Q.S. Al-Ankabut : 47, yang artinya : “Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat kami, selain orang-orang kafir”. Dan pada ayat selanjutnya, Q.S. Al-Ankabut : 49, yang artinya : “Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat kami kecuali orang-orang zalim”. Dengan demikian, dapat ditemukan bahwa makna kafir berhubungan dengan makna zalim. Ini merupakan makna semantik yang menjelaskan tentang persamaan makna. Bahwa orang-orang yang tidak percaya dengan ayat-ayat Allah bisa disebut zalim atau kafir.
Dari beberapa cara analisa pendekatan semantik al-Qur’an di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep-konsep dalam al-Qur’an tidaklah sederhana. Kedudukan masing-masing kata dalam al-Qur’an yang saling terpisah ternyata saling bergantung dan menghasilkan makna kongkret. Justru dari seluruh sistem hubungan itu dengan kata lain, kata-kata itu membentuk kelompok-kelompok yang bervariasi, besar dan kecil, masing-masing berhubungan antara satu sama lain dengan berbagai cara.
Dan pada akhirnya akan menghasilkan keteraturan yang menyeluruh, sangat kompleks dan rumit sebagai kerangka kerja gabungan konseptual. Dan apa yang sungguh-sungguh penting bagi tujuan khusus itu adalah jenis sistem konseptual yang berfungsi dalam al-Qur’an bukan konsep-konsep yang terpisah secara individual dan dipertimbangkan terlepas dari struktur umum ke dalam mana konsep-konsep tersebut diintegrasikan.
Jadi, analisa pendekatan semantik dalam al-Qur’an bukanlah analisa sederhana mengenai struktur bentuk kata maupun studi makna asli yang melekat pada bentuk kata itu atau analisis etimologi. Artinya, etimologi hanya dapat memberikan petunjuk bagi kita untuk mencapai “makna dasar” kata.
Dan tidak jarang makna dasar masih mengundang banyak pertanyaan tentang maknanya. Untuk itu, perlu kiranya suatu upaya untuk memecahkan makna tersirat dari suatu kata tertentu dengan menggunakan analisa makna dasar dan makna relasional terhadap kata tersebut.
2 Responses