Alam semesta diciptakan oleh Allah SWT dengan tujuan yang pasti. Alam semesta yang meliputi manusia, tumbuhan, bebatuan, air, gunung, dan lain sebagainya merupakan makhluk Allah SWT. Semua itu diciptakan agar manusia mempelajari hakekat atau hikmah dari proses penciptaan tersebut.
Tulisan ini akan menjabarkan tentang konsep penciptaan alam semesta dan seisinya sebagaimana yang telah dijelaskan oleh al-Qur’an.
Proses Penciptaan Manusia
Dalam al-Qur’an banyak sekali ayat yang menjelaskan secara langsung tentang proses penciptaan manusia. Beberapa ayat tentang penciptaan manusia mengisyaratkan perihal bahan dasar penciptaan manusia yaitu dari tanah (at-Thin), saripati tanah (al-sulalat), debu (at-turab), tanah liat kering (shalshal) yang berasal dari lumpur hitam (hamaim masnun), yang kemudian Allah membentuk bahan tersebut dengan seindah-indahnya bentuk kemudian meniupkan ruh-Nya ke dalam jiwa manusia.
Manusia juga diciptakan melalui proses biologis yang sangat rumit. Akan tetapi penciptaan yang luar biasa rumit tersebut dapat dipahami secara jelas melalui ayat al-Qur’an surat Al-Mu’minun ayat 12-14.
Artinya:
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah (12). Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim) (13) Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik (14) (Q.S. Al-Mu’minun ayat 12-14.)
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa manusia diciptakan dari inti sari tanah yang dijadikan air mani (nuthfah) yang tersimpan di dalam rahim (tempat yang kokoh), kemudian nuthfah tersebut dijadikan darah yang beku (‘alaqah) yang menggantung di dalam rahim. Kemudian, darah yang beku tersebut dijadikan segumpal daging (mudghah) yang kemudian dibalut menggunakan tulang belulang, setelah itu barulah ditiupkan ruh dari diri Allah SWT. Dalam suatu hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim mengatakan bahwa Allah SWT menghembuskan Ruh-Nya ke dalam diri manusia setelah janin berkembang selama 40 hari menjadi nuthfah, 40 hari menjadi ‘alaqah, serta 40 hari menjadi mudghah. (Lihat : Imam Bukhari, Shahih No. 3036, 3151, 6221, 7016, Imam Muslim, Shahih No. 2643, Imam At Tirmidzi As -Sunan No. 2220, Imam Al Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra 15198, 21069, Imam Ahmad, Musnad No. 3624).
Dari berbagai penjelasan al-Qur’an tentang proses penciptaan manusia tentu hal tersebut bukanlah suatu gambaran yang sia-sia. Peristiwa tersebut bermuara pada satu hal yaitu perintah untuk berpikir. Sebab seringkali Allah SWT mengingatkan manusia agar selalu memikirkan hakekat penciptaan manusia. Sebagaimana dalam Q.S. Al-Qiyamah : 36-37 yang menjelaskan bahwa sebenarnya manusia adalah hasil dari proses pembuahan satu sel sperma laki-laki yang membuahi satu sel telur perempuan.
Padahal, dalam satu waktu laki-laki mampu memancarkan sperma sebanyak 250 juta sel yang semuanya berlomba-lomba menuju sel telur yang berada pada saluran reproduksi wanita. Dan dari sperma yang banyak itu hanya ada 1 sel yang berhasil membuahi sel telur. Sel sperma yang berhasil membuahi sel telur tentunya bukan atas kehendaknya sendiri melainkan atas kehendak Allah SWT. Adanya iradah Allah SWT inilah yang harus disadari oleh umat manusia sehingga dapat menambah keimanannya.
Konsep Manusia Dan Perintah Berpikir
Manusia yang memikirkan hakekat penciptaannya akan memahami tujuan utama ia diciptakan oleh Allah SWT. Secara garis besar tujuan utama dari penciptaan manusia ialah untuk menyembah Allah SWT sebagai makhluk yang diciptakan-Nya. Allah SWT menciptakan manusia juga dengan tujuan agar manusia mengetahui akan kekuasaan Allah yang meliputi langit dan bumi dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Manusia memiliki amanah yang sangat besar dari Allah SWT. Manusia diciptakan untuk menjadi Khalifah Allah di muka bumi, manusia juga mendapatkan tugas khusus sebagai pewaris para nabi (warasatul anbiya’), dan manusia juga merupakan seorang hamba yang memiliki kewajiban menyembah Allah SWT setiap saat agar menjadi hamba yang selalu berbuat sesuai perintah Allah (akhlaq) sebagai wujud ketaatan kepada Sang Pencipta (al-Khaliq) Hal ini menunjukkan bahwa konsep berpikir sangat terkait dengan konsep makhluq, akhlaq dan khaliq.
Selain terkait dengan konsep penciptaan manusia, konsep berpikir juga dapat dipahami melalui ayat-ayat yang menjelaskan tentang penciptaan langit dan bumi, tentang penciptaan gunung serta pergantian siang dan malam, pertumbuhan tanaman, seperti kurma, serta binatang ternak yang mampu mengeluarkan susu. Untuk memahami hakekat dari kejadian tersebut sangatlah memerlukan pemikiran (tafakkur) serta perenungan (tadabbur) secara mendalam. Hal tersebut bertujuan untuk mengikat keimanan (al-iman) manusia kepada Sang Maha Pencipta (al-khaliq). Sebab, semua makhluk Allah tidak diciptakan dengan sia-sia. Akan tetapi untuk dipikirkan hakekatnya oleh manusia sebagai wujud penghambaan (‘ubudiyyah) kepada Allah SWT. Adapun ayat-ayat yang berbicara akan hal tersebut di antaranya ialah:
Artinya :
Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan Allah Maha Perkasa atas segala sesuatu. (189). Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (190). (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka (191).”(Q.S. Ali Imran : 189-191)
Pada surat Ali Imran ayat 189 berbicara tentang kekuasaan Allah SWT yang meliputi kerajaan langit dan bumi. Kemudian dalam ayat selanjutnya yaitu Ali Imran : 191 dijelaskan mengenai pentingnya memikirkan hal tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan antara ketiga ayat tersebut yang mempertegas bahwa Allah SWT adalah Tuhan yang Maha Berkuasa (al-Malik) atas segala makhluk-Nya.
Dalam ayat tersebut. Allah SWT menggunakan istilah “Ulu-l-Albab” untuk menunjuk konsep manusia yang berpikir. Artinya, kata “Ulu-l-Albab” adalah terminologi khusus yang digunakan dalam al-Qur’an untuk menyebut orang yang menggunakan hatinya (lubb) untuk memikirkan hakekat di balik kejadian atau penciptaan alam semesta ini. Mulai dari bagaimana alam diciptakan serta bagaimana alam semesta ini diatur dengan sedemikian hebatnya. Termasuk tentang pergantian siang dan malam, serta kemampuan-kemampuan yang terdapat pada setiap makhluk. Semua itu tidak lepas dari konsep Penciptaan yang berpusat pada konsep Allah SWT.
Hakekat Penciptaan Alam Semesta
Keterkaitan antara konsep berpikir (tafakkur) dengan konsep Pencipta (al-Khaliq) juga dapat dipahami melalui surat berikut
Artinya :
Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan. Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. (Q.S. Ar-Ra’d : 3)
Dalam ayat tersebut dipertegas bahwa Allah adalah Tuhan yang menciptakan gunung-gunung, sungai-sungai, buah-buahan, dan telah membangun langit tanpa tiang penyangga satu pun. Dalam al-Qur’an Allah merupakan konsep tertinggi yang menjadi pusat segala sesuatu. Semua aspek di alam semesta tidak luput dari peran Allah SWT sehingga konsep Allah menjadi sumber utama cara pandang Islam (islamic worldview) dalam memandang realitas kehidupan ini. Untuk itu, manusia sebagai makhluk Allah hendaknya memahami secara benar tentang hakekat penciptaan. Dengan memahami dan memikirkan segala nilai yang terdapat di balik penciptaan alam semesta inilah manusia akan mampu menggapai keimanan (al-iman).
Pada ayat selanjutnya yaitu Q.S. Ar-Ra’d : 4, Allah menggunakan istilah ta’aqqul dalam menunjuk konsep berpikir.
Artinya :
Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebahagian tanam-tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir. (Q.S. Ar-Ra’d : 4)
Dalam menganalisa dua makna ayat tersebut di atas kita dituntut untuk jeli. Sebab, dalam konteks ini Allah menggunakan konsep tafakkur dan ta’aqqul dalam ayat berurutan. Hal ini menunjukkan akan pentingnya perintah berpikir dalam memahami hakekat suatu penciptaan. Sebagaimana dijelaskan dalam bab sebelumnya mengenai konsep tafakkur dan ta’aqqul, bahwa konsep ta’aqqul bermakna menggunakan kemampuan hati (‘aql) untuk mengetahui dan mengikat hakekat suatu kejadian.
Lain halnya dengan konsep tafakkur. Dalam konsep tafakkur manusia dituntut untuk memikirkan secara mendalam untuk mengetahui makna sesuatu. Dalam konteks tafakkur, manusia tidak cukup merasakan suatu kejadian dengan hati. Lebih dari itu, manusia perlu mengaitkan antara suatu kejadian tersebut dengan pemahaman (al-‘ilm) yang telah dimiliki sebelumnya. Tafakkur seharusnya dilakukan secara berkali-kali dan terus-menerus. Hal tersebut dapat kita telaah kembali tentang semantik leksikal konsep tafakkur. Adapun salah satu makna leksikal yang menunjukkan nilai proses berpikir secara berulang-ulang ialah konsep “rawiyyah” yang artinya mempertimbangkan. Maksudnya adalah dalam berpikir, manusia harus selalu mempertimbangkan berbagai macam aspek, baik sebab maupun akibatnya, sebelum meyakini dan melakukan suatu hal.
Untuk mengetahui perbedaan antara konsep tafakkur dan ta’aqqul lebih dalam, kita dapat menelaah juga Q.S. An-Nahl : 67. Ayat tersebut menjelaskan tentang masalah-masalah yang dapat dipahami melalui konsep ta’aqqul. Untuk itulah redaksi yang digunakan dalam ayat tersebut adalah “ya’qilun” yang mana manusia diperintahkan untuk berpikir dalam hal manfaat sesuatu. Dengan memikirkan hal tersebut, manusia akan mampu membedakan mana yang baik (khair) dan buruk (syarr), mana yang mengandung manfaat (naf’) dan mana yang berbahaya (dhar). Dengan berpikir dalam konsep ta’aqqul inilah manusia akan mampu memahami konsep khair, syarr, naf’, dhar serta hubungannya dengan konsep ‘aql dan qalb yang dihubungkan melalui konsep rizq, nikmah, tanzil dan konsep wahyu.
Hakekat Penciptaan Lebah
Selain itu, Allah juga mengisyaratkan kepada manusia untuk memikirkan tentang hakekat penciptaan hewan lebah. Sebagaimana disampaikan dalam Q.S. An-Nahl : 69;
Artinya :
Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan. (Q.S. An-Nahl : 69)
Dalam ayat tersebut terdapat beberapa konsep kunci yang saling terkait dalam konsep penciptaan lebah. Adapun konsep-konsep tersebut ialah konsep keTuhanan (rububiyyah), konsep penciptaan, konsep manusia, konsep tanda (ayat) serta konsep berpikir. Penekanan dalam ayat tersebut yaitu supaya manusia memikirkan (yatafakkarun) hakekat penciptaan lebah yang meliputi pemikiran bagaimana seekor lebah mampu mengeluarkan madu yang nikmat dari perutnya, bagaimana madu yang memiliki banyak khasiat tersebut bisa memiliki rasa yang manis, bagaimana lebah mampu membangun sarang yang sangat kokoh dan rumit sehingga madu yang bersifat cair tapi tidak tumpah, hingga bagaimana mungkin minuman madu bisa mengandung obat yang mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit, dan berbagai pertanyaan lain yang dapat membawa manusia kepada kesadaran akan wujud Sang Maha Pencipta.
Untuk mengetahui jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu tidak cukup dengan menggunakan indra perasa dan penglihatan saja. Akan tetapi, ini membutuhkan pemikiran (tafakkur) yang mendalam dengan menggunakan nalar (nadhar), akal (‘aql), ilmu (‘ilm), hati (qalb), serta keyakinan (iman). Jika unsur tersebut dilakukan secara benar maka manusia akan mampu mengambil pelajaran (i’tibar). Hal tersebut sejalan dengan yang dinyatakan oleh al-Qurtuby bahwa tafakkur adalah mengambil pelajaran dari suatu kejadian. Artinya, makna atau hakekat suatu ayat tidak cukup dipahami melalui makna tekstual saja. Tapi, perlu adanya penalaran yang sejalan dengan teks tersebut dengan tanpa mendekonstruksi makna aslinya.
Dalam ayat sebelumnya yaitu surat an-Nahl : 68 disebutkan bahwa yang memerintahkan lebah untuk membangun sarang ialah Allah SWT. Sebagaimana berikut ini:
وَأَوۡحَىٰ رَبُّكَ إِلَى ٱلنَّحۡلِ أَنِ ٱتَّخِذِي مِنَ ٱلۡجِبَالِ بُيُوتٗا وَمِنَ ٱلشَّجَرِ وَمِمَّا يَعۡرِشُونَ
Artinya :
Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia”, (Q.S. An-Nahl : 68)
Dari ayat tersebut dapat ditelaah bahwa konsep berpikir juga terkait dengan konsep wahyu (al-wahy). Hal tersebut dapat dipahami melalui kata “auha” (mewahyukan) yang memiliki derivasi lain yaitu “al-wahy” yang berarti wahyu.
Dalam ayat yang lain juga dijelaskan tentang adanya keterkaitan antara proses berpikir dengan proses mendengar dalam upaya mengambil pelajaran (i’tibar) dari suatu kejadian. Misalnya dalam Q.S. An-Nahl : 65. Dalam ayat tersebut memang tidak menggunakan istilah “yatafakkarun”, akan tetapi “yasma’un”. Dengan kalimat “yasma’un” inilah kita dapat mengetahui bahwa orang yang mendengar tentang konsep “tanzil” (dalam hal ini adalah tanzil al-nikmah) adalah orang yang mampu mengambil pelajaran dari suatu kejadian. Dan suatu pelajaran tidak mungkin didapatkan oleh manusia tanpa melakukan proses berpikir.
Selain konsep yang telah disebutkan di atas, konsep tafakkur juga memiliki makna relasional dengan konsep lain yang lebih luas lagi. Di antaranya yaitu konsep jiwa (nafs), kafir (kufr), manusia (basyar), dan konsep kebenaran (haqq). Konsep-konsep tersebut dapat diperhatikan melalui Q.S. Ar-Rum : 8;
أَوَ لَمۡ يَتَفَكَّرُواْ فِيٓ أَنفُسِهِمۗ مَّا خَلَقَ ٱللَّهُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ وَمَا بَيۡنَهُمَآ إِلَّا بِٱلۡحَقِّ وَأَجَلٖ مُّسَمّٗىۗ وَإِنَّ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلنَّاسِ بِلِقَآيِٕ رَبِّهِمۡ لَكَٰفِرُونَ
Artinya:
Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya. (Q.S. Ar-Rum : 8)
Dalam konteks ayat tersebut, Allah menggunakan frase yang sedikit berbeda. Penggunaan konsep berpikir dengan redaksi “yatafakkaru” dalam ayat tersebut diletakkan di awal ayat, hal ini berbeda dengan ayat lainnya yang diletakkan di akhir ayat. Adapun makna yang terkandung dalam ayat tersebut ialah hakekat penciptaan diri manusia yang tidak sia-sia. Allah menciptakan manusia dengan tujuan yang pasti hingga waktu kiamat yang telah ditentukan.
Namun, jika manusia mengetahui bahwa semua ini akan berakhir, kenapa manusia tidak memikirkan hakekat penciptaan dirinya. Untuk memahami makna dari ayat tersebut tentu manusia harus memikirkan dan merenungi tujuan penciptaannya yaitu untuk beribadah kepada Allah SWT. Jadi, secara tidak langsung, berpikir dalam hal penciptaan jiwa manusia akan mengantarkan pemahaman yang benar tentang makna penghambaan diri kepada Tuhan Yang Maha Benar. Dengan demikian, konsep penciptaan manusia terkait juga dengan konsep ‘ubudiyyah, ‘abd, dan ibadah.
Hal terpenting dari alam semesta adalah eksistensinya yang benar (haqq). Artinya alam semesta diciptakan secara benar, baik dan nyata. Karena alam diciptakan oleh pencipta Allah SWT dengan benar (bil haqq) dan tidak diciptakan dengan main-main (la’b), dan tidak juga diciptakan secara palsu (bathil). Karena diciptakan dengan penuh kebenaran maka umat manusia diwajibkan untuk berbuat secara baik dan benar pula. Sebab semua yang diperbuat oleh manusia di dunia akan benar-benar dipertanggungjawabkan di kehidupan akhirat kelak.