Kata wahyu merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab yaitu al-wahy yang memiliki kata dasar yaitu waha-yahi-wahyan yang makna dasarnya adalah kitab, isyarat, tulisan, bisikan, kecepatan, suara, dan api.Menurut Rasyid Ridha, wahyu merupakan pemberitahuan yang tertutup dan tidak diketahui oleh orang lain kecuali orang yang dituju. Wahyu dapat terjadi dalam waktu yang cepat dan selalu menjadi petunjuk bagi manusia dalam mengenal Allah SWT.
Menurut Muhammad Abduh dalam Risalah Tauhid-nya, bahwa yang dimaksud wahyu ialah berita yang disampaikan baik secara lisan maupun tertulis. Beliau berpendapat bahwa pada hakekatnya wahyu ialah pengetahuan yang diperoleh oleh seseorang dengan menyandarkannya pada keimanan. Ia juga yakin bahwa pengetahuan tersebut datang dari Allah SWT baik melalui perantara maupun tanpa perantara. Sedangkan menurut Syara’ istilah Wahyu seringkali diartikan sebagai berita yang disampaikan oleh Allah SWT kepada nabi-Nya mengenai suatu hukum syariat yang disepakati. Kabar tersebut berlangsung secara cepat dan tersembunyi yang berbentuk Kalamullah.
Di dalam al-Qur’an kata wahyu diulang sebanyak 78 kali dalam berbagai bentuk. Di antara bentuk derivasi dari kata wahy adalah auha, nuhiya, dan yuha. Setiap derivasi tersebut mengandung makna yang berbeda-beda. Kata wahyu terkadang bermakna “Ilham” sebagaimana tersurat dalam Q.S. Al-Maidah ayat 111. Di lain ayat kata wahyu juga berarti “membisikkan” seperti dalam Q.S. Al-An’am ayat 121. Kata wahyu juga berarti “isyarat” sebagaimana dalam Q.S. Maryam ayat 11. Namun, selain itu kata wahyu juga seringkali bermakna “wahyu Allah SWT kepada Nabi-Nya” seperti yang dijelaskan pada Q.S. Al-Nisa’ ayat 163 serta Q.S. Yusuf ayat 109.
Abd. Al-Majid Al-Najjar di dalam bukunya Fi Fiqh al-Tadayyun Fahman wa Tanzilan menjabarkan paling tidak ada 4 karakteristik yang dimiliki oleh wahyu yang harus diketahui oleh manusia. Di antaranya adalah sebagai berikut:
- Wahyu bersumber dari Tuhan. Dalam hal ini contohnya adalah al-Qur’an dan al-Hadist. Dalam konteks wahyu al-Qur’an, nabi Muhammad SAW berperan penting dalam menyampaikan makna wahyu beserta lafadznya yang bersumber dari Tuhan. Sedangkan dalam konteks hadits, nabi Muhammad hanya mendapatkan maknanya dari Tuhan sedangkan lafadznya adalah dari lisan nabi sendiri. Hal ini sesuai sebagaimana dalam Q.S. An-Najm ayat 3-4:
وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰٓ ٣ إِنۡ هُوَ إِلَّا وَحۡيٞ يُوحَىٰ ٤
Artinya:
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) (Q.S. An-Najm : 3-4)
- Wahyu berupa nash-nash berbahasa Arab. Karakteristik dari wahyu lainnya adalah dari segi bahasanya. Bahasa Arab memiliki gramatika yang sangat khas, baik itu dari aspek lafadz dan maknanya. Di samping itu bahasa Arab juga sangat kaya akan nilai sastra dan juga perbendaharaan katanya. Di dalam al-Qur’an seringkali Allah SWT mengingatkan manusia agar memikirkan hakekat dari bahasa yang digunakan al-Qur’an. Sebab di dalam setiap lafadz terdapat pesan penting yang harus dipikirkan oleh manusia. Oleh sebab itu sangat wajar apabila bahasa Arab menjadi bahasa wahyu yaitu al-Qur’an.
- Wahyu tidak bertentangan dengan akal manusia. Karakter wahyu yang lainnya yaitu kesesuaiannya terhadap akal. Wahyu tidak pernah bertentangan dengan akal bahkan wahyu selalu sesuai dengan prinsip yang dimiliki oleh akal. Di dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa wahyu diturunkan melalui malaikat Jibril ke hati (akal) nabi Muhammad SAW. Artinya akal manusia memiliki kemampuan untuk memahami wahyu. Namun, ketika ada wahyu yang dirasakan bertentangan dengan akal maka bisa jadi karena pesan wahyu yang terlalu tinggi sehingga terasa sulit untuk dipahami oleh akal manusia. Meskipun sebenarnya hal itu tidak bertentangan dengan akal itu sendiri. Sehingga seringkali manusia melakukan kesalahan dalam penafsiran terhadap makna wahyu Allah SWT.
- Wahyu diturunkan secara berangsur-angsur. Ini menunjukkan adanya maksud tertentu dalam proses diturunkannya wahyu. Wahyu diturunkan sesuai dengan peristiwa yang terjadi, baik itu berupa peringatan maupun kabar gembira. Hakekat wahyu diturunkan secara berangsur yaitu agar manusia memperhatikan setiap ayat atau pelajaran yang disampaikan oleh Allah SWT melalui wahyu-Nya. Dan untuk memahami makna wahyu secara keseluruhan sangat memerlukan pengetahuan sebab-sebab diturunkannya al-Qur’an (asbab an-nuzul) serta sejarah peristiwa yang berlangsung ketika ayat tersebut diturunkan.
Al-Qur’an adalah kitab Allah SWT yang berisi tentang berbagai hal baik itu tentang apa saja yang disenangi dan diridhai oleh-Nya menurut Yusuf al-Qardhawi, siapa saja yang ingin memahami dan menafsirkan al-Qur’an maka ia harus menyiapkan akalnya dengan baik serta memperbanyak ilmunya terlebih dahulu. Sebab kurangnya ilmu akan mengakibatkan salah dalam pemahaman ayat al-Qur’an. Nabia Abbot, profesor kajian Semit di Universitas Kalifornia dalam bukunya al-Khat al-‘Araby mengatakan bahwa al-Qur’an bukan merupakan hasil karya manusia. Dan apabila kita mengingkari al-Qur’an maka sama saja kita menganggap Muhammad sebagai tuhan.
Pembahasan mengenai konsep al-Qur’an sangatlah luas. Di antara konsep yang berkaitan dengan konsep al-Qur’an ialah konsep wahyu, konsep tanzil, konsep nubuwwah, konsep malaikat, konsep berpikir, konsep kebenaran dan juga konsep Allah SWT. Sebagai konsep tertinggi dalam Islam, konsep Allah secara tidak langsung telah menunjuk pada asma’ dan sifat Allah, akan tetapi bukan dzat Allah sendiri. Sebab, dalam dzat Allah tidak dapat dikonsepsikan, melainkan hanya Allah sebagai lafadzlah yang mengikat konsep asma’ dan sifat-Nya.
Al-Qur’an dalam kaitannya dengan konsep berpikir, seringkali mengaitkan terminologI “tadabbur” dalam mengisyaratkan perintah memikirkan hakekat di balik semua isi al-Qur’an. Hal tersebut berarti perintah untuk merenung, menganalisa, meresapi serta memikirkan hakekat diturunkannya al-Qur’an. Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa tadabbur ialah berpikir tentang apa saja yang terkandung di balik sesuatu, artinya memahami apa yang ada di balik al-Qur’an
Selain itu, al-Qur’an juga seringkali disebut dengan terminologi “ad-Dhikr”. Ini merupakan salah satu nama al-Qur’an yang diderivasi dari akar kata “dzakara”. Kata ini juga terkait dengan konsep tadzakkur yang sama-sama berasal dari akar kata “dzakara”. Konsep tersebut dapat kita telaah melalui salah satu ayat al-Qur’an yaitu Q.S. An-Nahl : 44.
……وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلذِّكۡرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيۡهِمۡ وَلَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ ٤٤
Artinya :
Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan, (Q.S. An-Nahl : 44)
Dalam ayat tersebut terkandung makna yang saling mengikat. Adapun konsep-konsep yang saling terkait ialah konsep manusia, konsep al-Qur’an, konsep tanzil, konsep berpikir, dan konsep Allah. Konsep-konsep tersebut terikat dalam satu perintah utama sekaligus yaitu perintah berpikir. Artinya, Allah memerintahkan manusia untuk berpikir tentang kemukjizatan al-Qur’an yang diturunkan melalui nabi Muhammad SAW. Dalam konsep tanzil ini kita tidak bisa menafikan peran malaikat Jibril sebagai pembawa wahyu kepada nabi Muhammad. Berarti manusia juga harus memikirkan tentang kenapa al-Qur’an turun, bagaimana al-Qur’an diturunkan, siapa yang menurunkan kepada siapa, dan seterusnya. Dan inilah yang disebut dengan proses tadabbur dan tafakkur sekaligus.
Keterkaitan antara konsep wahyu dengan konsep berpikir juga dapat kita telaah melalui Q.S. An-Nahl 43:
وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ إِلَّا رِجَالٗا نُّوحِيٓ إِلَيۡهِمۡۖ فَسَۡٔلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ ٤٣
Artinya :
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, (Q.S. An-Nahl 43)
Dari ayat tersebut, kita dapat mempelajari bahwa dalam memahami konsep al-Qur’an sebagai wahyu kita juga harus memahami secara benar konsep ahl ad-dzikr. Ayat tersebut menjelaskan bahwa konsep ‘ilm sangat terkait dengan konsep ahl ad-dzikr. Pada dasarnya, sebagaimana disebutkan dalam beberapa kitab tafsir bahwa yang dimaksud dengan ahl ad-dzikr ialah orang-orang yang mempunyai pengetahuan tentang nabi dan kitab-kitab. Dengan kata lain, ahl ad-dzikr juga bisa diartikan sebagai orang yang memiliki ilmu-ilmu yang bersumber dari al-Qur’an.
Ahl ad-dzikr atau orang yang mengetahui ilmu al-Qur’an adalah mereka yang mampu membedakan yang baik dan buruk berdasarkan ilmu yang dimilikinya. Manusia dianjurkan untuk memilih yang baik melalui konsep ikhtiyar yang diderivasi dari kata khara atau khayara yang memiliki turunan kata “al-khair” yang berarti baik. Dan bukan memilih yang buruk (syarr), sebab keburukan bukanlah suatu pilihan melainkan sikap dzulm atau menganiaya diri sendiri. Adapun upaya untuk memilih yang baik tersebut tentu tidak bisa dilakukan tanpa adanya ilmu yang melekat dalam hati. Dalam hal ini terjadi proses belajar (ta’allum) dan mengajar (ta’lim). Hal ini terkait juga dengan konsep bayan dan tafakkur.
Dalam surat lainnya, Allah memberi peringatan kepada manusia bahwa al-Qur’an adalah amanat dari Sang Pencipta. Allah memberikan perumpamaan gunung yang tidak mampu mengemban amanat berupa al-Qur’an karena takut tidak mampu menjalankannya. Untuk itu Allah menurunkan ayat tentang perintah berpikir dalam Q.S. al-Hasr : 21 supaya manusia merenungkan peristiwa diturunkannya al-Qur’an.
لَوۡ أَنزَلۡنَا هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانَ عَلَىٰ جَبَلٖ لَّرَأَيۡتَهُۥ خَٰشِعٗا مُّتَصَدِّعٗا مِّنۡ خَشۡيَةِ ٱللَّهِۚ وَتِلۡكَ ٱلۡأَمۡثَٰلُ نَضۡرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ ٢١
Artinya :
Kalau Sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir. (Q.S. al-Hashr : 21)
Makna berpikir dalam ayat tersebut ialah untuk membedakan antara orang-orang yang beriman dan mereka yang kafir lagi munafik. Dengan memikirkan hakekat diturunkannya kepada manusia bertujuan agar hidayah Allah SWT sampai ke dalam hati setiap manusia. Sebab dengan hidayah tersebut manusia akan mampu menggapai ridha Allah SWT. Bahkan dalam surat Ar-Ra’d ayat 31, Allah menampilkan perumpamaan yang lebih dahsyat yaitu tentang kedahsyatan kandungan al-Qur’an sehingga apabila al-Qur’an diturunkan kepada gunung, maka ia akan hancur dan jika dihadirkan kepada orang yang telah mati, maka ia akan hidup kembali, dan tentunya semua itu hanya bisa terjadi atas izin Allah SWT. Dengan demikian, konsep al-Qur’an juga memiliki keterkaitan dengan konsep “iradah” Allah serta konsep “khasyah” makhluk Allah.
Pada hakekatnya, ayat-ayat al-Qur’an mengandng manfaat yang besar bagi manusia. Baik manfaat yang berguna dalam kehidupan di dunia maupun akhirat. Setiap yang mengandung manfaat atau maslahat berarti itu baik (khair). Artinya, sifat kandungan ayat al-Qur’an semuanya adalah baik. Maka, perlu kiranya manusia mengambil pelajaran (I’tibar) dari yang baik-baik tersebut. Adapun manusia yang tidak mengambil manfaat apapun dari suatu kebaikan tersebut berarti ia telah menjadi budak hawa nafsunya. Sebagaimana disampaikan Allah dalam Q.S. Al-a’raf : 175-176 bahwa orang yang mengikuti hawa nafsunya berarti budak syetan. Allah memberikan perumpamaan orang tersebut seperti anjing yang ketika dihalau atau ditinggalkan, maka anjing tersebut tidak berubah sikap. Ia tetap akan menjulurkan lidahnya. Oleh karena itu, hendaknya manusia selalu berpikir tentang kebaikan-kebaikan yang terdapat dalam setiap ayat al-Qur’an.
Pelajaran penting yang dapat diambil dari gambaran anjing tersebut adalah mencerminkan sifat-sifat orang yang fasiq, kafir dan dhall. Meskipun umat Islam membawa berita kebaikan kepada mereka dan menunjukkan jalan yang penuh hidayah, niscaya mereka tidak akan pernah mengikutinya. Sama halnya dengan kita tidak melakukan apa-apa. Perumpamaan yang sama juga dapat kita temukan dalam Q.S. Al-A’raaf : 193. Ayat tersebut menjelaskan tentang ciri-ciri orang musyrik. Permisalan anjing yang tidak berubah sikap ketika dihalau dan ditinggalkan ternyata sama dengan berhala-berhala yang tidak berubah sikapnya ketika disembah. Berhala-berhala yang disembah orang musyrik pun akan selalu diam karena pada dasarnya mereka tidak punya kemampuan untuk merubah atau menjawab doa-doa penyembahnya.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa konsep kafir sangat bertentangan dengan konsep hidayah, konsep haqq, dan konsep khair. Artinya konsep kafir bermakna kondisi yang penuh dengan kesesatan (dhall) dan kemungkaran (munkar). Sebab hati orang-orang kafir telah tertutup dengan keburukan. Dengan demikian, orang-orang kafir yang ingkar berarti tidak dapat berpikir secara benar karena hatinya tertutup tidak mampu memahami kebenaran yang terkandung di dalam ayat-ayat al-Qur’an. Dan kebenaran al-Qur’an tidak akan dapat dipahami bagi mereka yang tidak memahami konsep tanzil, dan konsep kenabian.
3 Responses