Memahami Makna Term Tadabbur dan Ta’aqqul Dalam Konsep Berpikir

Konsep Berpikir Taaqqul

Terminologi bahasa Arab yang menunjuk pada aktifitas berpikir adalah Tadabbur dan Ta’aqqul. Berikut ini penjelasan makna kedua terminologi tersebut:

Makna Tadabbur : Konsep Memahami Ilmu Dengan Hati

Tadabbur merupakan istilah yang datang dari bahasa Arab. Istilah tadabbur merupakan bentuk derivasi dari kata dasar dabara yang artinya melihat apa yang terjadi di balik suatu masalah. Selain itu, kata tersebut juga memiliki makna leksikal “menyuruh (al-amr), dan memerintah (walla)”. Dari kata dasar dabara juga menurunkan istilah lain yaitu al-tadbir yang berarti memikirkan (al-tafkir) apa yang ada di balik sesuatu. Selain itu didapatkan juga istilah al-tadbir yang artinya membebaskan budak dari keterbelakangan atau terbebasnya seorang budak dari perbudakan setelah kematian tuannya.

Hal tersebut senada dengan perkataan Ibn Kathir bahwa tadabbur berarti memahami suatu makna dari lafaz-lafaz yang ada, serta memikirkan makna dari tanda-tanda (ayat) yang ada dalam al-Qur’an dan mengambil manfaat dari makna tersebut melalui hati (qalb) serta menjadikannya pengalaman atau ilmu baru dengan penuh keyakinan. Ahmad Ibn Faris mengatakan bahwa tadabbur juga memiliki arti kemuliaan (al-karam).

Jadi, dalam konteks semantik leksikal tadabbur dan hubungannya dengan al-Qur’an tidak berarti membaca dan menghafal ayat-ayatnya saja. Lebih dari itu, sebagaimana yang disampaikan oleh Abu Bakar al-Ajiry bahwa tadabbur ialah mengamalkan dalam kehidupan mengenai apa yang dihasilkan dari proses memikirkan ayat-ayat Allah.

Dalam hubungannya dengan pemikiran rasional, maka tadabbur adalah memikirkan yang ada di balik sesuatu, atau memikirkan yang tersirat di balik yang tersurat. Atau bisa disebut juga dengan mencari makna di balik makna tersurat. Dalam beberapa ayat al-Qur’an, istilah tadabbur seringkali dikaitkan dengan al-Qur’an sebagai konsep wahyu, seperti istilah yatadabbarun al-Qur’an yang berarti memikirkan atau memahami (tafakkur) makna serta memperhatikan sebab-sebab diturunkannya ayat-ayat yang ada dalam al-Qur’an.

Dalam al-Qur’an kata tadabbur dalam hubungannya dengan proses berpikir terdapat sebanyak 4 kali, masing-masing dalam 4 surat dan 4 ayat. Dan jika ditelaah tentang obyek yang menjadi sasaran tadabbur ini, maka objek kajian dalam beberapa ayat tersebut mencakup tentang wahyu Allah (al-Qur’an) dan tanda-tanda kebesaran Allah  yang lainnya. Adapun term yang digunakan dalam ayat tersebut ialah afala yatadabbarun al-Qur’an dan afala yaddabbaru al-qaula. Artinya, kedua bentuk berpikir tersebut menunjukkan akan perintah berpikir mengenai makna yang terkandung (baik tersurat atau pun tersirat) dalam ayat al-Qur’an.

Jadi, proses berpikir dalam konteks tadabbur berarti memahami (tafakkur) dengan hati tentang makna-makna yang disampaikan oleh Allah SWT melalui tanda-tanda kekuasaannya baik yang telah ditulis dalam al-Qur’an maupun yang tidak ditulis (tersirat) dengan tujuan untuk mengungkap dan memahami makna baru dari ilmu-ilmu Allah  SWT.

Makna At-Ta’aqqul : Konsep Pengikat Ilmu Pengetahuan

Konsep Berpikir Tadabbur

Kata ta’aqqul ditinjau dari segi kebahasaan memiliki beberapa makna. Secara leksikal kata ta’aqqul berasal dari kata dasar ‘aqala yang memiliki makna berpikir. Kata ‘aqala dalam bentuk kata kerja (fi’l) berarti habasa yang berarti mengikat atau menawan. Orang yang menggunakan akalnya disebut dengan ‘aqil atau orang yang dapat mengikat dan menahan hawa nafsunya.

Ibn Zakariya dalam Mu’jam Al-Maqayis fi Al-Lughah mengatakan bahwa semua kata yang memiliki akar kata yang terdiri dari huruf ‘ain, qaf, lam menunjuk kepada arti kemampuan mengendalikan sesuatu, baik berupa perkataan, pikiran, maupun perbuatan. Adapun konsep ta’aqqul membentuk derivasi seperti:‘aqala-ya’qilu sebagai kata kerja, ‘aql sebagai daya berpikir, ‘aqil menunjuk kepada orang yang berpikir. Sedangkan objek yang dapat diterima oleh akal seringkali disebut dengan ma’qul. Dan ta’aqqul berarti aktifitas berpikir.

Berdasarkan pengertian di atas dapat kita pahami bahwa orang yang berakal atau orang yang menggunakan daya akalnya dengan baik pada dasarnya ia adalah orang yang mampu mengikat hawa nafsunya, sehingga hawa nafsunya tidak dapat menguasai dirinya. Selain itu, orang yang berpikir juga akan dapat mengendalikan dirinya terhadap dorongan nafsu dan juga dapat memahami kebenaran agama. Sebab, orang yang dapat memahami kebenaran agama hanyalah orang yang tidak dikuasai oleh hawa nafsunya. Adapun sebaliknya adalah orang yang dikuasai oleh hawa nafsunya tidak dapat memahami agama dengan baik dan sempurna.

Menurut Ibrahim Madhkur, akal (dalam konteks ini ialah al-qalb) dapat dipahami sebagai suatu potensi rohani untuk membedakan antara yang haqq dan bathil. Abbas Mahmud Aqqad menambahkan bahwa akal berfungsi sebagai penahan hawa nafsu. Dengan akal tersebut, manusia dapat memahami amanah dan kewajibannya sebagai seorang makhluk. Dengan demikian, akal adalah petunjuk untuk membedakan antara hidayah dan kesesatan (al-dhalal).

Adapun Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah menegaskan bahwa akal merupakan alat atau sarana yang mampu membedakan antara yang baik (al-khair) dan yang buruk (as-sharr), yang bagus (al-hasan) dan yang jelek (al-qabih), serta yang benar (al-haqq) dan yang sesat (al-bathil). Dari beberapa pendapat tersebut dapat dipahami bahwa akal (al-qalb) ialah instrumen jiwa yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Selain itu, dengan akal manusia dapat menemukan, mengembangkan dan mengkonstruksi atau bahkan menciptakan ilmu pengetahuan. Dan lebih dari itu, dengan akal manusia juga dapat mengendalikan hawa nafsunya.

Penjelasan tersebut merupakan pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang menguraikan masalah akal. Di dalam al-Qur’an memang tidak pernah digunakan kata ‘aql dalam bentuk ism (kata benda) akan tetapi menggunakan kata kerja (‘aqala). Dengan model penyampaian yang demikian, mungkin al-Qur’an ingin menjelaskan bahwa berpikir dengan akal adalah kerja dan proses yang bersifat terus-menerus dan bukan hasil akhir perbuatan.

Kata-kata tersebut berbentuk ‘aqala dalam 1 ayat, ta’qilun dalam 24 ayat, na’qilu dalam 1 ayat, ya’qilu  dalam 1 ayat, dan ya’qilun dalam 22 ayat. Kata-kata tersebut dijumpai sebanyak 49 kali yang tersebar dalam 30 surat dan 49 ayat. Adapun kata-kata tersebut digunakan dalam berbagai konteks yang berbeda, baik sebagai objek, klasifikasi dan berbagai macam topik pembicaraan yang berbeda.

Berdasarkan penggunaan ‘aql dalam berbagai susunannya dapat dijelaskan beberapa kelompok penggunaannya. Terdapat 14 ayat digunakan untuk memikirkan dalil dan dasar keimanan. Kemudian dalam 12 ayat kata ‘aql digunakan untuk memikirkan dan memahami alam semesta serta hukum-hukumnya (sunnatullah). Dan dalam 8 ayat lainnya, kata ‘aql berhubungan dengan pemahaman terhadap peringatan dan wahyu Allah  SWT. Dalam 7 ayat, berhubungan dengan pemahaman terhadap proses sejarah keberadaan umat manusia di dunia. Lalu dalam 6 ayat berhubungan dengan pemahaman terhadap kekuasaan Allah SWT.

Dalam 1 ayat berhubungan dengan pemahaman terhadap hukum-hukum yang berkaitan dengan moral. Sedangkan dalam 1 ayat berhubungan dengan pemahaman terhadap makna ibadah, seperti shalat. Dari 49 ayat yang menggunakan kata ‘aql  tersebut di atas dapat diartikan bahwa ‘aql digunakan untuk memahami berbagai obyek yang riil maupun abstrak. Dari yang bersifat empiris sensual hingga yang kongkret seperti sejarah umat manusia, hukum-hukum alam (nature law, sunnatullah).

Selain itu juga digunakan untuk memikirkan yang abstrak seperti kehidupan di akhirat, proses menghidupkan kembali orang yang sudah mati, kebenaran ibadah, kebenaran wahyu, dll. Dengan demikian objek berpikir (ta’aqqul) ialah tentang ketetapan realitas kehidupan yang mengarah kepada makna-makna yang terkandung dalam konsep dasar tentang kekuasaan Allah SWT, seperti makna Iman, Islam, ma’rifah dan tauhid, yang mana semua konsep tersebut diproses dalam hati.

Dari beberapa makna leksikal dan gramatikal ta’aqqul yang dijelaskan al-Qur’an di atas dapat dipahami bahwa objek kajian ta’aqqul tidak menyentuh Dzat Allah itu sendiri, melainkan hanya sebatas ilmu-Nya. Sebab, dalam al-Qur’an tidak ada satu medan makna pun yang menunjuk langsung pada perintah untuk memikirkan wujud Allah beserta Arsy-Nya. Artinya, batasan-batasan berpikir (ta’aqqul) ialah konsep-konsep dasar yang telah ditunjukkan oleh Allah dalam al-Qur’an. Yang tidak ditunjukkan di dalam al-Qur’an bukanlah hak manusia untuk memikirkannya.

One Response

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *