Mensucikan Hati Dengan Mengoptimalkan Shalat

Al-Qur’an Al-Karim merupakan sumber utama syariat Islam. Segala perintah dan larangan Allah SWT disampaikan melalui kitab suci tersebut. Termasuk salah satu perintah penting tentang kewajiban shalat. Bahkan, di dalamnya tidak hanya terdapat perintah shalat saja. Lebih dari itu, di dalam al-Qur’an juga terkandung hakikat serta rahasia-rahasia yang akan didapatkan oleh umat Islam yang mengerjakan shalat. Sehingga orang yang shalat akan mendapatkan manfaat yang lebih dari hanya sekedar manfaat gerakan shalat tersebut.

Hikmah Dibalik Perintah Shalat Dalam al-Qur’an

Hikmah shalat dapat kita ketahui dari ayat-ayat dalam al-Qur’an. Di antaranya ada yang tersirat dalam istilah yang berbeda dengan istilah shalat namun memiliki makna yang merujuk kepada makna shalat. Misalnya, dalam surat Hud : 114

إِنَّ ٱلۡحَسَنَٰتِ يُذۡهِبۡنَ ٱلسَّيِّ‍َٔاتِۚ

Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. (Q.S. Hud : 114)

At-Thabari dalam tafsirnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “al-Hasanat” dalam ayat tersebut adalah kembali kepada makna Shalat. Sederhananya,shalat merupakan perbuatan baik yang mampu mencegah pelakunya dalam berbuat keburukan, jika shalat tersebut dilakukan dengan benar.

Selain itu, makna shalat dalam al-Qur’an juga terkandung dalam istilah “qanitun” yang artinya beribadah di waktu malam, sebagaimana dalam ayat berikut,

أَمَّنۡ هُوَ قَٰنِتٌ ءَانَآءَ ٱلَّيۡلِ سَاجِدٗا وَقَآئِمٗا ….

(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri… (Q.S. Az-Zumar : 9)

Dalam Hadits shahih Bukhari dalam bab tafsir surat al-Isra’ Juz 5 halaman 227 juga dikatakan bahwa hakikat shalat tersirat dalam istilah “quran”, dalam Q.S. Al-Isra’ : 78,

…..إِنَّ قُرۡءَانَ ٱلۡفَجۡرِ كَانَ مَشۡهُودٗا 

Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). (Q.S. Al-Isra’ : 78)

Dalam hal ini perintah shalat terdapat dalam istilah Qur’an al-Fajr yang artinya adalah shalat subuh. Istilah ini lebih khusus yaitu menunjuk pada makna shalat subuh saja.

Pada hakikatnya, masih banyak lagi istilah-istilah yang merujuk pada makna shalat dalam al-Qur’an. Namun, secara umum dari contoh kecil ayat-ayat di atas dapat diambil hikmah bahwa shalat sebenarnya telah mendapatkan perhatian khusus dalam Islam. Sebab, shalat merupakan sarana berinteraksi antara seorang hamba dengan Tuhannya. Dan ketika interaksi tersebut dilakukan secara baik, maka hal itu akan berdampak positif bagi yang melakukannya. Hal ini juga telah dipertegas melalui ayat berikut:

ٱتۡلُ مَآ أُوحِيَ إِلَيۡكَ مِنَ ٱلۡكِتَٰبِ وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَۖ إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِۗ وَلَذِكۡرُ ٱللَّهِ أَكۡبَرُۗ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ مَا تَصۡنَعُونَ ٤٥ 

Artinya:

Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al-Ankabut : 45)

Istilah shalat mengikat dua hal penting dalam kehidupan manusia. Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya, yaitu hal yang terkandung dalam shalat adalah do’a dan istighfar. Kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan dalam shalat. Artinya, orang yang shalat berarti sedang berdo’a serta beristighfar kepada Allah SWT. Maka, orang yang shalat berarti ia sedang menghambakan diri dan memohon ampunan atas segala dosa yang telah dilakukannya.

Kedudukan perintah shalat dalam Al-Qur’an sangat besar. Dalam beberapa ayat, istilah shalat digunakan dalam bentuk yang berbeda-beda. Kadang digunakan dalam bentuk perintah untuk mengerjakan shalat, di lain ayat juga dalam bentuk kabar gembira dan juga ancaman. Bentuk konteks ayat tersebut tidak lain bertujuan untuk memperkuat hakikat shalat yang penuh dengan hikmah.

Dalam syariah shalat terdapat banyak hikmah yang tersimpan. Hikmah-hikmah tersebut pada dasarnya telah dijelaskan dalam banyak ayat al-Qur’an. Di antara hikmah yang terkandung dalam perintah shalat sebagai berikut:

Mengikuti syariah-syariah nabi terdahulu

Hikmah perintah shalat adalah mengikuti syariah umat terdahulu. Hal ini dapat kita pelajari dari doa nabi Ibrahim a.s. dalam Q.S. Ibrahim ayat 40. Dalam ayat tersebut nabi Ibrahim berdoa agar Allah SWT menjadikan nabi Ibrahim dan keturunannya selalu mendirikan shalat. Hal yang sama juga terdapat dalam Q.S. Maryam ayat 55. Dalam ayat tersebut nabi Ismail menyuruh ahlinya untuk melakukan shalat dan menunaikan zakat.

Dalam ayat yang lain juga dijelaskan bahwa Allah SWT menyuruh nabi Musa a.s. untuk menyembah-Nya. Dalam Q.S. Taaha ayat 14 menjelaskan bahwa Allah SWT mengajarkan kepada nabi Musa a.s. bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah SWT. Nabi Musa juga diperintahkan untuk mendirikan shalat untuk selalu mengingat Allah SWT.

Dalam Q.S. Ali Imran ayat 42 juga menunjukkan adanya syariah shalat dalam kehidupan umat terdahulu. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Allah SWT memerintahkan Maryam binti Imran untuk sujud dan rukuk kepada Allah SWT. Selain itu, perintah shalat juga disampaikan Luqman a.s. kepada anaknya. Hal itu terdapat dalam Q.S. Luqman ayat 17 yang mana dalam ayat tersebut Luqman a.s. memerintahkan anaknya untuk mendirikan shalat dan menyeru kepada kebaikan serta melarang hal-hal yang munkar. Luqman a.s. juga mengajarkan kepada anaknya untuk selalu bersabar atas segala yang menimpanya.

Selain ayat-ayat tersebut tentu masih banyak lagi ayat yang menjelaskan tentang adanya perintah shalat dalam sejarah umat terdahulu. Meskipun dalam ayat tersebut menggunakan lafadz “shalat”, akan tetapi tata cara melakukan shalat umat terdahulu berbeda dengan umat nabi Muhammad SAW. Perintah shalat lima waktu hanya terdapat pada zaman nabi Muhammad SAW. Sebab perintah shalat lima waktu baru ada sejak peristiwa isra’ mi’raj. Dalam buku Syeh M. Nuruddin Marbu al-Makki dijelaskan bahwa shalat umat terdahulu ada yang dua kali sehari dan ada juga yang hanya satu kali dalam sehari. Adapun cara shalat yang sempurna yang terdapat takbir, rukuk, i’tidal, sujud, tilawah, dan lain sebagainya secara sempurna hanya terdapat dalam syariah nabi Muhammad SAW.

Dengan demikian secara garis besar dapat dipahami bahwa perintah shalat sangat berhubungan dengan agama Islam (ad-diin). Allah SWT menjadikan shalat sebagai sarana yang mensucikan diri dan juga menjadikan diri selalu istiqamah dalam beragama Islam. Adapun hakikat terbesar dari menjalankan shalat yaitu mendapatkan ridha Allah SWT dan keselamatan dari-Nya.

Menyucikan diri dan hati

Hakikat yang terkandung dalam perintah shalat lainnya adalah menyucikan diri. Yang dimaksud dengan menyucikan diri adalah membersihkan diri dari segala kotoran baik yang tampak maupun yang tidak tampak oleh mata. Dalam Q.S. Al-Maidah ayat 6 dijelaskan bahwa Allah SWT memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk bersuci ketika akan melakukan shalat. Hal ini menunjukkan bahwa ketika manusia ingin menghadap kepada Tuhannya, maka ia harus dalam kondisi tubuh yang bersih.

Bahkan, di lain ayat yaitu Q.S. An-Nisa’ ayat 43, Allah SWT melarang hamba-Nya untuk melakukan shalat apabila ia dalam keadaan mabuk atau dalam keadaan junub hingga ia membersihkan dirinya. Orang yang mabuk berarti ia tidak dapat berpikir secara jernih atau ia tidak tidak sadar atas apa yang ia kerjakan. Sedangkan orang yang junub berarti ia dalam keadaan kotor. Sebab, ada sesuatu yang kotor yang keluar dari diri seseorang. Kondisi kotor dan tidak sadar inilah yang menyebabkan dilarangnya seseorang untuk menunaikan shalat.

Pada hakikatnya, Allah SWT telah menjelaskan juga hakikat dari perintah dan larangan tersebut di atas. Sebagaimana tercantum dalam Q.S. Al-Maidah ayat 6 yaitu:

….مَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيَجۡعَلَ عَلَيۡكُم مِّنۡ حَرَجٖ وَلَٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمۡ وَلِيُتِمَّ نِعۡمَتَهُۥ عَلَيۡكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ ٦ 

Artinya:

….Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. (Q.S. Al-Maidah : 6)

 Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa tujuan dari berwudhu atau bersuci adalah untuk membersihkan diri hamba yang melakukannya serta menyempurnakan nikmat Allah SWT bagi hamba-hambanya yang taat. Jadi, dengan adanya kewajiban bersuci sebelum melaksanakan shalat merupakan suatu nikmat dan bukan ingin mempersulit. Sebab, manfaat dari bersuci akan dirasakan oleh hamba yang bersuci itu sendiri. Bersuci dalam konteks berwudhu hakikatnya adalah untuk menyucikan hati dari segala prasangka buruk.

Dalam suatu hadits dikatakan bahwa orang yang berwudhu sebenarnya ia sedang membersihkan dosa-dosa yang ada pada dirinya. Dosa tersebut akan hilang bersama dengan air yang mengalir pada saat berwudhu.

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “من توضأ فأحسن الوضوء خرجت خطاياه من جسده حتى تخرج من تحت أظفاره” (رواه مسلم)

Artinya:

Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa berwudhu dengan membaguskan wudhu’nya, maka keluarlah dosa-dosanya dari kulitnya sampai dari kuku jari-jemarinya”. (HR. Muslim)

Artinya, kegiatan berwudhu memiliki manfaat dhahir dan bathin. Wudhu akan membersihkan jasmani dan rohani seorang muslim yang berwudhu. Ketika seseorang berwudhu berarti ia menyadari bahwa dirinya dalam kondisi kotor dan dengan wudhu itulah ia berusaha untuk menghilangkan kotoran tersebut. Sehingga akan timbul kesadaran bahwa ia sedang memohon ampunan kepada Allah SWT untuk dihapuskan dosa-dosa yang ada dalam hatinya.

Hal di atas sama dengan hikmah lafadz adzan. Adzan bukan hanya sekedar menandakan masuknya waktu shalat. Lebih dari itu, nilai-nilai yang terkandung dalam kalimat adzan itulah yang lebih mengandung hikmah bagi yang benar-benar mau berpikir tentangnya. Dalam adzan terdapat ungkapan ta’dhim (mengagungkan nama Allah SWT), syahadat, ajakan untuk shalat, tahlil, dan lain-lain. Makna dari adzan itulah yang harus dipahami oleh umat Islam.

Makna lafadz ta’dhim yang terdapat pada lafadz takbir (Allahu Akbar) menandakan pengakuan seorang hamba akan kebesaran dan keagungan Allah SWT yang tidak terbatas antara timur dan barat. Lafadz Syahadat (Asyhadu alla ilaha illallah wa Asyhadu anna Muhammad Rasulullah) berarti kesaksian  hamba bahwa tidak ada Tuhan yang pantas disembah kecuali Allah SWT dan nabi Muhammad SAW adalah utusan-Nya. Dan juga lafadz tahlil (Laa ilaaha illallah) menunjukkan penekanan bahwa dalam agama Islam tidak ada Tuhan kecuali Dzat Allah SWT semata. Dan seterusnya.

Makna-makna inilah yang seharusnya dipahami oleh umat Islam ketika mendengarkan adzan. Dan ketika umat Islam memikirkan hakikat makna itu semua dengan penuh kesadaran maka hal itu akan berdampak pada kebersihan hati serta ketundukan seorang hamba kepada syariah-syariah yang telah ditetapkan Allah SWT.

Selain kedua hakikat yang telah disebutkan, tentu masih banyak lagi hakikat shalat lainnya yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an. Dan semua hakikat itu tidak akan pernah dipahami seorang hamba tanpa adanya kesadaran dan keinginan untuk mengetahui rahasia apa saja yang terkandung dalam perintah shalat yang terdapat dalam al-Qur’an.

One Response

Leave a Reply to Makna Shalat dalam Hadits Nabi Muhammad SAW Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *