Warning: Undefined array key "options" in /home/u1779095/public_html/ismailview.com/wp-content/plugins/elementor-pro/modules/theme-builder/widgets/site-logo.php on line 123

Konsep Manusia Yang Berpikir Dalam Terminologi al-Qur’an

manusia yang berpikir

Untuk mengetahui terminologi al-Qur’an yang menunjuk kepada manusia yang berpikir paling tidak kita dapat menelitinya melalui ungkapan bahasa al-Qur’an yang memiliki makna “manusia yang berpikir”. Adapun terminologi khusus tersebut di antaranya adalah Ulu-l-Albab. Uli an-Nuha, Ulu al-Abshar.

Ulu-l-Albab merupakan salah satu terminologi kunci yang menunjuk makna manusia yang berpikir. Kata Ulu atau Uli merupakan padanan kata dari kata Dzawu atau Dzawi yang memiliki arti “memiliki/mempunyai”. Adapun kata Al-Albab adalah bentuk derivasi dari akar kata Labba atau Lababa yang memiliki makna dasar (leksikal) “inti dari segala sesuatu”. Dan dari akar kata tersebut juga didapatkan bentuk derivasi lain yaitu Al-Lubbu yang artinya “inti hati”. Ibn Mandzur mengatakan bahwa Al-Lubbu adalah Al-‘Aql (akal). Menurutnya orang yang berakal disebut dengan al-Labib/Labibun (al-‘aqil atau dzu lubbin). Selain itu dari akar kata yang sama juga terbentuk istilah al-Lubab yang artinya al-Khalish min as-syai’ (bagian yang murni/suci dari sesuatu).

Para linguis Arab (seperti: Sibawaih, Ibn Faris) mengatakan bahwa setiap Lubb adalah ‘Aql dan setiap ‘Aql adalah Lubb. Untuk mengetahui kesamaan makna kedua istilah tersebut dapat kita analisa melalui konteks penggunaannya dalam ayat-ayat al-Qur’an. Dalam al-Qur’an terminologi Ulu-l-Albab disebutkan sebanyak 16 kali. Diantaranya yaitu terdapat pada surat al-Baqarah : 179, 197, 269, Ali Imran : 7, 190, al-Maidah : 100, Yusuf : 111, Ar-Ra’d : 19, Ibrahim : 52, Shad : 29, 43, Az-Zumar : 9, 18, 21, Ghafar : 54, at-Thalaq : 10. Dan semua makna yang terkandung dalam istilah Ulu-l-Albab pada ayat-ayat tersebut menunjuk pada orang yang memiliki akal yang murni dan sehat.

Dalam al-Qur’an istilah Ulu-l-Albab digunakan dalam berbagai macam konteks. Di antaranya adalah konteks Qishash. Dalam surat al-Baqarah : 179 disebutkan:

وَلَكُمۡ فِي ٱلۡقِصَاصِ حَيَوٰةٞ يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ١٧٩

Artinya:

Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa”. (al-Baqarah : 179)

Adapun tafsir ayat tersebut ialah bentuk ajakan kepada manusia untuk memikirkan hakekat dari diberlakukannya syariat qishash. Di dalam syariat qishash terdapat jaminan kehidupan bagi orang lain. Artinya, hukuman qishash akan memberi peringatan kepada orang lain agar tidak melakukan kejahatan yang sama. Sehingga dengan demikian akan tercipta kehidupan yang aman.  Dalam hal ini terdapat nilai-nilai kehidupan (al-hayah) yang baik. Dalam ayat tersebut Allah memberikan pelajaran berharga kepada manusia yang mau menggunakan akalnya untuk memikirkan hikmah di balik pemberlakukan hukum qishash yang dapat menjamin hak hidup orang banyak.

Dalam Islam orang yang mampu menggunakan akal ialah orang yang akan mendapatkan balasan sebagai orang yang bertakwa di akhirat kelak. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa makna Ulu-l-Albab sangat berkaitan erat dengan makna yang dikandung dalam terminologi taqwa, demikian pula sebaliknya. Dengan kata lain, orang yang berakal atau orang yang menggunakan akalnya akan mampu menambah ketaqwaannya terhadap Allah SWT.

Az-Zamakhsari menjelaskan dalam kitab tafsirnya bahwa ungkapan “yaa Ulu-l-Albab” bukan berarti merujuk pada semua umat manusia secara umum melainkan hanya diperuntukkan bagi manusia yang menggunakan akalnnya untuk memikirkan syariat Allah SWT yang berupa qishash. Oleh karena itu dalam ayat tersebut diakhiri dengan ungkapan “la’allakum tattaqun” dengan maksud bahwa aktifitas berpikir dalam kehidupan manusia akan dicatat sebagai amalan yang mulia baik di dunia maupun akhirat.

Imaduddin Abi al-Fida mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang beriman kepada Allah SWT. Beliau menyandarkan argumennya tersebut pada Q.S. Yusuf ayat 111;

لَقَدۡ كَانَ فِي قَصَصِهِمۡ عِبۡرَةٞ لِّأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِۗ مَا كَانَ حَدِيثٗا يُفۡتَرَىٰ وَلَٰكِن تَصۡدِيقَ ٱلَّذِي بَيۡنَ يَدَيۡهِ وَتَفۡصِيلَ كُلِّ شَيۡءٖ وَهُدٗى وَرَحۡمَةٗ لِّقَوۡمٖ يُؤۡمِنُونَ ١١١

Artinya:

Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (Q.S. Yusuf : 111)

Adapun tafsir ayat tersebut menjelaskan bahwa yang dimaksud lafadz “Ulu-l-Albab” adalah mereka yang menggunakan akalnya dengan baik. Dengan itulah akal seorang mukmin yang mendapatkan hidayah dan petunjuk dari segala kesesatan.

Dalam konteks surat yang lainnya, istilah Ulu-l-Albab terikat dengan semantik taqwa, misalnya dalam surat al-Maidah : 100;

قُل لَّا يَسۡتَوِي ٱلۡخَبِيثُ وَٱلطَّيِّبُ وَلَوۡ أَعۡجَبَكَ كَثۡرَةُ ٱلۡخَبِيثِۚ فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ١٠٠

Artinya:

Katakanlah: tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, Maka bertakwalah kepada Allah Hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan. (Q.S. Al-Maidah : 100)

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa antara konsep baik (al-khair, al-thayyib, al-hasan) dan buruk (al-khabits, as-sayyi’ah) terdapat perbedaan yang mendalam. Ar-Raghib al-Asfahany mengatakan bahwa kata khair merupakan bentuk kecintaan terhadap akal (al-‘aql), keadilan (al-‘adl), dan manfaat (al-nafa’). Lebih lanjut ia membagi kebaikan (khair) menjadi dua, yaitu; al-khair al-mutlaq (kebaikan absolut), yang berarti kebaikan yang disukai oleh semua manusia seperti kebaikan surga (al-jannah), dan kebaikan relatif yang terdapat dalam suatu benda seperti harta (al-mal). Istilah harta (al-mal) dalam al-Qur’an diungkapkan dengan kata yang sama yaitu khair. Artinya sifat harta sangat tergantung pada pemiliknya atau orang yang menggunakannya. Sifat harta juga sangat ditentukan oleh tujuan harta itu digunakan. Akan tetapi sifat dasar harta (al-mal) adalah kebaikan (al-thayyib) yang diturunkan Allah SWT untuk dimanfaatkan oleh manusia sesuai ketetapan-Nya bukan ketetapan manusia.

Selain itu, kata khair juga memiliki makna relasional yang saling mengikat. Kata khair dapat diartikan dengan kemuliaan (al-sa’adah, al-karim, al-syaraf). Sebab, dengan akhlak yang baik (khairatun hisanun) manusia akan mendapatkan kedudukan yang mulia di dunia dan akhirat. Dan itulah keutamaan dari seorang pribadi muslim yang seharusnya diaplikasikan dalam kehidupan.

Sebagaimana dikatakan oleh Khalid ibn Janabah sebagaimana dikutip dalam Lisan al-‘Arab bahwa kebaikan (al-khair) dari seorang perempuan ialah kemuliaan keturunan (karimatu al-nasab), kecantikan wajahnya (hasanatu al-wajh), kebaikan akhlaknya (hasanatu al-khulq). Dalam al-Qur’an terdapat banyak sekali pesan Allah SWT yang menggambarkan pentingnya suatu kebaikan. Khair dalam al-Qur’an diungkapkan dalam berbagai macam bentuk dan konteks bahasa yang beragam. Akan tetapi semua makna khair dalam al-Qur’an menuju pada maksud yang sama, yaitu terdapatnya manfaat dalam sesuatu. Termasuk agama yang di dalamnya mengandung manfaat atau kebaikan bagi manusia.

Dengan demikian, manusia harus memilih kebaikan yang terdapat dalam segala urusan dengan cara yang adil dan benar, karena perbuatan Tuhan selalu adil (al-‘adl) dan benar (al-haqq). Manusia hendaknya tidak berbuat salah dzulm) kepada sesamanya, karena Allah tidak pernah menyalahi siapa pun. Allah telah menentukan cara terbaik bagi manusia dalam menempuh kehidupan di dunia dengan cara Allah sendiri. Dan itulah kebaikan Allah sebagai bentuk bahwa Allah tidak pernah membiarkan hambanya dalam keadaan yang hina atau tercela (su’). Ini semua adalah refleksi sifat Allah SWT yang tidak pernah melakukan kesalahan.

Selain itu, konsep kebaikan dalam Islam juga terikat dengan konsep kemuliaan yang ditunjukkan al-Qur’an dengan terminologi khusus yaitu al-Karam. Kata al-Karam merupakan bentuk derivasi dari kata karuma yang berarti kemuliaan. Kata ini biasa digunakan untuk menunjuk kondisi akhir derajat sesuatu. Selain kata karam, makna kemuliaan juga dimiliki oleh konsep sharaf dan ‘izzah yang masing-masing berkonotasi sama dengan kata karam.

Adapun lawan kata dari karam ialah al-lu’m (kehinaan). Artinya, ketika sifat mulia tersebut disematkan kepada manusia maka kata tersebut menunjukkan bahwa kondisi manusia tersebut telah terlepas dari suatu kehinaan. Jadi, tindakan buruk (sharr) justru akan menjadikan manusia jauh dari sifat mulia. Ini berarti ia belum mencapai derajat kebebasan (hurriyyah) yang sebenarnya dalam Islam.

Kebebasan dalam Islam (selain dapat diartikan proses memilih kebaikan dari sesuatu), ia juga merupakan tujuan akhir manusia ketika terbebas dari kungkungan sifat-sifat yang buruk (al-sayyi’ah). Ibn Mandzur dalam Lisan al-‘Arab menyebutkan bahwa al-karam adalah turunan dari sifat Allah SWT yaitu al-karim yang berarti Yang Maha Pemilik Kebaikan yang mutlak. Lebih lanjut, ia menyimpulkan bahwa al-karam merupakan kata yang mencakup unsur-unsur kebaikan (al-khair), kemuliaan (al-fadhilah), dan terpuji (al-hamd).

Dalam kitab Mu’jam al-Alfadz al-Qur’an al-Karim disebutkan bahwa dalam al-Qur’an kata karam dengan segala bentuk derivasinya memiliki beberapa makna. Di antara makna tersebut ialah al-in’am, selain itu, kata tersebut juga digunakan untuk menunjuk kemuliaan al-Qur’an (kitabun karim), Rasulullah, rizki yang baik (rizqun karim), kedudukan, balasan yang besar (ajran karima), sumber kebaikan (al-‘arsh al-karim), dan lain sebagainya. Dari semua makna tersebut dapat diketahui bahwa karam merupakan keadaan yang baik, posisi yang baik, sumber kebaikan, konsekwensi berbuat kebaikan, bahkan merujuk kepada Sang Maha Pemberi Kebaikan (Allah SWT).

Pada dasarnya semua manusia dilahirkan dalam keadaan suci dan telah dimuliakan oleh Allah SWT. Salah satu bentuk kemuliaan manusia di antara makhluk lainnya ialah diberikannya hati (qalb) sebagai organ untuk memahami ayat-ayat Allah SWT. Akan tetapi, dalam perjalanan hidupnya manusia cenderung kalah dengan hawa nafsu dan lebih memilih jalan yang sesat (dhalal). Ketika manusia berbuat tercela di muka bumi maka sebagai akibatnya ialah kekufuran (kufr). Artinya ia tidak menggunakan hati (qalb) sebagaimana fungsinya, yaitu untuk memikirkan dan memahami (tafakkur) ayat-ayat Allah SWT.

Dengan demikian ia tidak memperhatikan bahwa Allah SWT telah memberikan petunjuk (huda) berupa Al-Qur’an. Berarti orang yang lebih memilih jalan kesesatan ialah orang yang mengingkari petunjuk Allah yang berisikan jalan kebaikan yaitu al-Qur’an. Jadi, untuk mencapai derajat kemuliaan (karam), manusia hendaknya selalu memikirkan serta memahami (tafakkur) tanda-tanda (ayah) yang telah diturunkan (tanzil) yang berupa al-Qur’an. Sebab, dengan bertafakkur  itulah manusia akan bisa mencapai derajat yang mulia.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa makna yang tercakup dalam konteks surat al-Maidah ayat 100 ialah Allah SWT memerintahkan kepada manusia untuk menggunakan akalnya dalam upaya mengambil pelajaran dari perbedaan esensi antara konsep kebaikan dengan keburukan. Dan ketika seseorang mampu membedakan antara keduanya kemudian menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari maka Allah SWT menjanjikan derajat takwa kepadanya dan itulah gambaran dari yang disebut dengan Ulu-l-Albab. Hal tersebut senada dengan apa yang telah disampaikan oleh Imad ad-Din Abi Al-Fida’ bahwa Ulu-l-Albab adalah mereka yang mendapatkan hidayah dari Allah SWT dan mereka yang dijauhkan dari kesesatan dalam hidupnya, sebab mereka mampu mengambil pelajaran dari setiap kejadian.

Hal tersebut diatas sebenarnya dapat kita analisa melalui al-Qur’an surat Ali Imran ayat 190-195. Dalam ayat tersebut Allah SWT memberikan penjelasan secara mendetail tentang kriteria-kriteria manusia yang disebut dengan Ulu-l-Albab. Dalam al-Qur’an, yang dimaksud dengan Ulu-l-Albab yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi dengan penuh keimanan kepada Allah SWT tanpa keraguan dan menyekutukannya.

Dalam konteks surat Ali Imran paling tidak terdapat dua ciri-ciri khusus bagi Ulu-l-Albab. Untuk menunjuk aktifitas berpikir manusia (dalam konteks ini adalah Ulu-l-Albab), Allah menggunakan dua terminologi yang berbeda yaitu Tadzakkur dan Tafakkur. Sebagaimana telah dibahas pada bab sebelumnya bahwa yang dimaksud dengan Tadzakkur ialah mengingat Allah baik dengan ucapan lisan atau dengan hati dalam kondisi apapun. Sedangkan Tafakkur ialah memikirkan ciptaan Allah SWT serta proses kejadian yang terdapat di alam semesta ini. Adapun tujuan dari proses mengingat dan memikirkan hakekat di balik suatu kejadian tersebut ialah pada akhirnya manusia mampu mengambil pelajaran (‘ibrah), hikmah serta ilmu.

Dari sini terlihat bahwa yang dimaksud dengan Ulu-l-Albab bukanlah manusia secara umum. Derajat Ulu-l-Albab hanya diberikan kepada mereka yang benar-benar sesuai dengan kriteria yang disampaikan Allah SWT. Sedangkan manusia yang tidak mampu menggunakan kemampuan akalnya untuk memikirkan kekuasaan Allah SWT ialah orang yang buta, tuli dan bisu. Argumen tersebut sesuai dengan apa yang telah disampaikan oleh Ibn Katsir.

Menurutnya, Ulu-l-Albab ialah manusia yang menggunakan akalnya secara sempurna dan bersih dari maksiat yang dengannya manusia mampu mendapatkan keistimewaan dan keagungan mengenai sesuatu bukan seperti orang-orang yang buta dan bisu yang tidak dapat berpikir. Artinya, orang-orang yang mendustakan agama Allah SWT (kafir) tidak termasuk dalam kategori Ulu-l-Albab. Sebab mereka telah buta mata hatinya serta telah mengingkari kekuasaan-Nya.

Adapun konsep Ulu-l-Albab juga memiliki kaitan erat dengan konsep Ilmu dan Iman. Keterikatan makna terminologi tersebut dapat kita lihat melalui al-Qur’an surat Ali Imran ayat 7;

هُوَ ٱلَّذِيٓ أَنزَلَ عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ مِنۡهُ ءَايَٰتٞ مُّحۡكَمَٰتٌ هُنَّ أُمُّ ٱلۡكِتَٰبِ وَأُخَرُ مُتَشَٰبِهَٰتٞۖ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمۡ زَيۡغٞ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَٰبَهَ مِنۡهُ ٱبۡتِغَآءَ ٱلۡفِتۡنَةِ وَٱبۡتِغَآءَ تَأۡوِيلِهِۦۖ وَمَا يَعۡلَمُ تَأۡوِيلَهُۥٓ إِلَّا ٱللَّهُۗ وَٱلرَّٰسِخُونَ فِي ٱلۡعِلۡمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِۦ كُلّٞ مِّنۡ عِندِ رَبِّنَاۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ ٧

Artinya:

Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (Q.S. Ali Imran : 7)

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa orang yang berakal (Ulu-l-Albab) ialah orang yang memiliki ilmu secara mendalam. Sehingga dengan ilmunya tersebut ia mampu mengambil pelajaran dari ayat-ayat al-Qur’an, baik ayat Muhkamat ataupun ayat Mutasyabihat. Pada dasarnya ayat Mutasyabihat tidak dapat diketahui maknanya secara pasti sebab itu merupakan hak Allah SWT, seperti ayat tentang alam ghaib, hari kiamat, surga, neraka, ruh, dan lain-lain. Akan tetapi bukan berarti manusia tidak dapat memahaminya sama sekali.

Manusia diberikan akal untuk menalar dan mengambil pelajaran dari makna yang tersurat dan tersirat. Dan untuk memahami makna ayat Mutasyabihat tentu memerlukan analisa serta penyelidikan secara mendalam. Dan orang yang mampu menganalisanya ialah Ulu-l-Albab yang memiliki keimanan mendalam terhadap Allah SWT.

Dalam ayat yang lain, konsep Ulu-l-Albab juga berkaitan dengan konsep kebenaran perintah Allah SWT. Kebenaran dalam perspektif Islam dapat diketahui melalui penggunaan akal secara benar dalam memahami tanda-tanda (ayat) sesuai dengan petunjuk Allah SWT. Dalam konteks surat Ar-Ra’d : 19-22 misalnya, Allah SWT secara jelas menerangkan syarat menjadi Ulu-l-Albab dalam memahami kebenaran Allah SWT.

Pertama, mereka memenuhi janji Allah (beriman) dan tidak merusak perjanjian tersebut, kedua, mereka selalu menghubungkan (silaturrahim) apa-apa yang Allah perintahkan serta mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk, ketiga, mereka harus bersabar dalam mencari keridhaan Allah SWT, mendirikan shalat, menafkahkan sebagian rizkinya, baik secara sembunyi maupun terang-terangan serta menjauhi kejahatan dan menjalankan kebaikan.

Dan apabila ketiga syarat di atas telah dilakukan oleh seseorang maka Allah SWT telah menjanjikan kepastian balasan yang berupa surga ‘Adn. Hal ini merupakan janji Sang Pencipta kepada hamba-Nya yang benar-benar menggunakan mata hatinya dalam berpikir dan beriman. Sebagaimana tertuang dalam surat ar-Ra’d ayat 23 bahwa orang yang berhak mendapatkan surga ‘Adn adalah mereka yang dapat memenuhi syarat di atas.

Dalam Q.S. Ali Imran ayat 190-191 juga telah disampaikan secara tegas bahwa Ulu-l-Albab adalah manusia yang selalu mengingat Allah SWT dalam keadaan apapun. Baik dalam keadaan susah atau pun senang. Perbedaan Ulu-l-Albab dengan yang lainnya adalah dalam kemampuannya memahami, mengamati, memikirkan alam semesta yang telah diciptakan Allah SWT. Sehingga dengan kemampuan tersebut ia dapat menerapkan semua pengetahuannya ke dalam akhlak sehari-hari. Dengan ungkapan yang lebih sederhana dapat diungkapkan bahwa Ulu-l-Albab adalah manusia yang mampu mengoptimalkan kecerdasan keimanan dengan dasar ilmu pengetahuan.

Ulu-l-Albab merupakan terminologi kunci yang menunjukkan makna manusia yang mendapatkan karunia pemikiran yang benar. Sebab, sifat Ulu-l-Albab adalah kedudukan manusia yang mampu menerima kebenaran ayat-ayat Allah SWT. Ulu-l-Albab selalu memikirkan hakikat dari semua hal yang dipahaminya. Baik itu berupa hakikat dari suatu penciptaan, tujuan penciptaan, bahkan alasan mengapa sesuatu itu diciptakan. Ulu-l-Albab tidak pernah membiarkan hatinya mati dari memikirkan kekuasaan Allah SWT. Oleh sebab itulah Ulu-l-Albab selalu membuka mata hatinya untuk berpikir. Dengan demikian Ulu-l-Albab berarti orang yang memiliki pemahaman yang benar terhadap kebenaran perintah Allah SWT.

Pendapat tersebut senada dengan apa yang dikatakan oleh az-Zamakhsyari bahwasannya lafadz Ulu-l-Albab dalam al-Qur’an selalu merujuk pada umat Islam yang selalu membuka mata hatinya untuk mengambil pelajaran dan hikmah dari semua tanda-tanda yang telah diberikan Allah SWT di dunia ini. Dengan demikian, konsep Ulu-l-Albab tidak merepresentasikan manusia yang menggunakan akalnya untuk memikirkan ilmu tapi melupakan atas apa yang mereka dapatkan. Pendapat ini juga diungkapkan Imaduddin dalam tarsirnya bahwa tadabbur, tadzakkur, dan konsep sejenisnya merupakan representasi sifat Ulu-l-Albab yang selalu mengggunakan akalnya secara benar dan istiqamah.

2 Responses

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *