Inilah Alasan Umat Muslim Harus Mendirikan Shalat

Manusia diciptakan oleh Allah SWT di muka bumi ini tentu memiliki tujuan, begitu pula dengan syariat. Suatu syariat yang ada dalam Islam juga memiliki hakikat dan tujuan. Sebab, tidak mungkin peraturan itu dibuat tanpa alasan dan tujuan. Dalam hal ini, syariat shalat yang diwajibkan atas semua umat Islam juga memiliki hakikat dan tujuan. Masalahnya, banyak orang yang melakukan shalat tapi tidak mengetahui hakikat dan tujuan diwajibkannya shalat Inilah yang menjadikan shalat seseorang tidak sempurna dan berarti. Untuk itu, perlu kiranya kita mengetahui secara benar jawaban dari pertanyaan “mengapa umat Muslim harus Shalat?”. Dengan mengetahui jawaban dari pertanyaan tersebut diharapkan kita dapat memperbaiki kualitas shalat kita.

Salah satu cara untuk memahami hakikat dan tujuan disyariatkannya shalat dapat diketahui dengan memahami hakikat penciptaan manusia di muka bumi. Sebab, antara manusia dan syariat shalat selalu berhubungan. Manusia dalam bahasa Arab disebut dengan istilah al-Insan atau al-Bashar. Namun, dalam al-Qur’an, Allah SWT memanggil manusia dengan berbagai macam istilah. Di antara istilah tersebut ialah al-Insan/an-Naas, al-Bashar, al-Khalifah, Bani Adam, dll. Semua istilah tersebut digunakan untuk menyebutkan kedudukan manusia sesuai dengan konteks ayat. Dan untuk memahami hakikat manusia dapat dilakukan dengan cara mengetahui makna dari semua istilah-istilah tersebut serta penggunaannya dalam al-Qur’an.

Berbicara tentang hakikat manusia berarti membahas tentang kedudukan manusia sebagai makhluk Allah SWT. Dalam al-Qur’an banyak sekali ayat yang menjelaskan tentang hakikat diri manusia. Salah satunya adalah Q.S. Al-Mu’minun ayat 12-16 yang menjelaskan tentang penciptaan manusia. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa manusia diciptakan dari saripati yang diambil dari tanah. Kemudian saripati tersebut dijadikan oleh Allah SWT menjadi air mani, segumpal darah, segumpal daging dan tulang belulang yang diletakkan dalam rahim seorang ibu.

Dalam ayat yang lain, manusia juga disebut dengan istilah Bani Adam (keturunan adam). Hal tersebut dapat kita lihat melalui Q.S. Yasin ayat 60. Dalam ayat tersebut Allah SWT memerintahkan semua umat manusia (Bani Adam) untuk tidak menyembah syetan. Sebab, syetan telah banyak menjerumuskan manusia ke dalam kesesatan. Dari ayat tersebut kita dapat ambil pelajaran bahwa Allah SWT ingin menyelamatkan manusia dari jurang kehinaan. Adapun cara untuk selamat adalah dengan melakukan perintah Allah SWT.

Selain itu, dalam al-Qur’an, manusia juga seringkali disebut dengan menggunakan istilah Khalifah (pemimpin). Ibn Khaldun dalam kitab Muqaddimah mengatakan bahwa kekhalifahan (kepemimpinan) adalah suatu tugas totalitas yang menggunakan hukum syariat Allah SWT sebagai rujukan, baik dalam mengurus perkara duniawi ataupun ukhrawi. Jika manusia dapat menjalankan kepemimpinannya berdasarkan syariat maka sebenarnya ia merupakan pemimpin yang mewakili Allah SWT dalam menegakkan ajaran agama-Nya serta dalam mengatur kehidupan dunia.

Allah SWT menyebut manusia dengan istilah Khalifah adalah merupakan bentuk kemuliaan yang Allah berikan kepada hamba-Nya. Dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 30 -34 Allah SWT mengingatkan kepada para malaikat bahwa Allah SWT menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Meskipun para malaikat mempertanyakan tujuan Allah SWT menjadikan manusia sebagai khalifah, namun karena malaikat taat kepada Allah maka mereka tetap tunduk dan tidak membangkang dengan iradah (kehendak) Allah SWT tersebut dan tetap mau untuk sujud hormat kepada Adam. Lain halnya dengan iblis yang justru tidak terima dan menentang perintah Allah untuk bersujud (menghormati) kepada Adam.

Ibn Katsir mengatakan bahwa suatu kekhalifahan adalah suatu kemuliaan yang sangat besar. Derajat khalifah yang diberikan Allah SWT merupakan bentuk anugerah tersendiri bagi keturunan Adam. Artinya, Allah SWT telah memuliakan manusia di antara makhluk-makhluk yang lain. Hal itu dipertegas dalam Q.S. At-Thiin ayat 4 yang berbunyi: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. Kesempurnaan bentuk di sini bukan sekedar ditunjukkan anggota tubuh yang lengkap. Lebih dari itu, yang dimaksud dengan bentuk yang sempurna yaitu manusia yang memiliki akal, hati dan ruh/nafs. Sebab, dengan hati (qalb) manusia akan mampu membedakan antara yang haqq dan bathil. Dan dengan akal, manusia akan mengetahui fithrahnya.

Namun, yang lebih penting dari itu adalah bahwa kekhalifahan manusia di bumi merupakan bentuk amanat yang sangat amat besar. Dan amanat itulah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Mungkin inilah yang seharusnya disadari oleh manusia bahwa kehidupannya sebagai pemimpin di bumi bukan berarti semua tindakannya dibenarkan. Justru sebaliknya, setiap ucapan dan tindakan manusia akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang telah dikerjakan selama hidupnya. Dengan kata lain, kekhalifahan manusia adalah bentuk tugas khusus yang diberikan Allah SWT kepada manusia. Sehingga dengan tugas itulah Allah SWT akan mengetahui derajat seseorang dan Allah berhak untuk menilai dan memberikan balasan terhadap segala perbuatan tersebut.

Dan untuk mengemban tugas besar tersebut, manusia telah dibekali keahlian yang beragam. Manusia diberikan kemampuan yang membuatnya sanggup mengatur kehidupan di dunia dan memakmurkannya. Manusia diberi akal untuk berpikir, menganalisa, dan memahami ilmu pengetahuan secara benar. Akan tetapi, selain daripada itu, manusia juga diberikan sifat-sifat negatif seperti sifat egois, tamak, sombong, dan lain sebagainya. Manusia sebagai individu memiliki sifat yang berbeda-beda. Dan kemampuan serta sifat inilah yang akan menjadi senjata manusia dalam melaksanakan amanat sebagai khalifah di bumi. Jadi, terdapat dua kemungkinan besar yaitu antara memakmurkan bumi atau merusak bumi. Hal itu tergantung pada seberapa besar kesadaran seseorang dalam melaksanakan amanat Allah SWT sebagai khalifah.

Secara umum, pada dasarnya manusia diciptakan dengan tujuan untuk menyembah Allah SWT. Namun, dalam perjalanan kehidupan, manusia seringkali lalai dalam menyembah Allah. Sehingga, banyak dari manusia yang terlena karena harta, anak dan kedudukan. Manusia tidak sadar bahwa itu semua hanya sebagai sarana untuk beribadah. Justru sebaliknya, manusia menganggap bahwa kedudukan dan harta adalah tujuan hidup yang harus dicapai dengan cara apapun. Fakta inilah yang menyebabkan manusia gagal mendapatkan predikat sebagai khalifah.

Selain kedudukan mulia sebagai khalifah, dalam al-Qur’an juga banyak sekali ayat yang menjelaskan tentang sifat-sifat negatif manusia. Di antara ayat tersebut ialah Ad-Dzariat : 56, Al-Isra’ : 11, Al-Isra’ : 70, Al-Isra’ : 100, Al-Mulk : 2, Al-Baqarah : 34, Al-Baqarah: 62, Al-Baqarah : 87, Al-Baqarah : 155, An-Nahl : 4, Yunus : 12, Az-Zumar : 8, Fushilat : 20, Al-Ahzab : 72, Yunus : 36, Al-Hadid: 72, An- Nisa’ : 28, At-Takastur : 1. Secara umum, dalam al-Qur’an digambarkan bahwa manusia memiliki sifat seperti : sering lalai, munafik, lemah, mudah terperdaya, penakut, mudah bersedih hati, tergesa-gesa, suka membantah, suka berlebih-lebihan, pelupa, suka berkeluh, suka berbohong, kikir, kufur nikmat, dzalim, bodoh, mudah menuruti prasangka, suka berandai-andai, ceroboh, sombong atau congkak, dan lain sebagainya.

Misalnya, sebagaimana digambarkan dalam ayat berikut ini:

إِذَا جَآءَكَ ٱلۡمُنَٰفِقُونَ قَالُواْ نَشۡهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُۥ وَٱللَّهُ يَشۡهَدُ إِنَّ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ لَكَٰذِبُونَ ١  ٱتَّخَذُوٓاْ أَيۡمَٰنَهُمۡ جُنَّةٗ فَصَدُّواْ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ إِنَّهُمۡ سَآءَ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ٢  ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ ءَامَنُواْ ثُمَّ كَفَرُواْ فَطُبِعَ عَلَىٰ قُلُوبِهِمۡ فَهُمۡ لَا يَفۡقَهُونَ ٣  [سورة الـمنافقون,١-٣]

Artinya:

“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah”. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta (1). Mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan (2). Yang demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati; karena itu mereka tidak dapat mengerti (3).” (Q.S. Al Munafiqun : 1-3).

Dari ayat tersebut dapat diambil pelajaran bahwa tanda orang yang munafiq yaitu pendusta. Orang munafiq selalu menjadikan sumpah atau ucapan sebagai tameng keburukan sifatnya. Dalam berbicara mereka mengakui kerasulan Nabi Muhammad SAW tapi di lain waktu mereka menghalangi orang lain untuk mengerjakan syariat secara benar. Bahkan, orang munafiq adalah manusia yang telah dikunci hatinya oleh Allah SWT sehingga tidak dapat memahami suatu kebaikan dan kebenaran.

Pada hakikatnya, manusia memiliki dua tipe sifat yang saling bertentangan yaitu baik (al-khair) dan buruk (al-sharr). Untuk itulah Allah SWT memberikan akal (al-‘aql) dan hati (al-qalb) kepada manusia agar menggunakannya untuk berpikir. Yaitu memikirkan antara mana yang baik dan yang buruk. Namun, untuk memilih antara kedua hal tersebut tentu dibutuhkan ilmu. Yang mana ilmu tersebut bersumber dari al-Qur’an dan Hadits. Jika ilmu tersebut berasaskan al-Qur’an dan Hadits maka akan jelas antara apa saja yang baik dan apa saja yang buruk. Dan apabila manusia mengambil ilmu yang baik maka hasil perbuatannya pun akan baik, begitu pula sebaliknya. Singkatnya, Allah SWT mempersilahkan manusia untuk memilih antara yang benar (al-haqq) dan yang salah (al-bathil). Namun, dalam al-Qur’an, Allah SWT juga telah menunjukkan secara jelas balasan yang akan didapatkan antara kedua hal tersebut.

Islam sangat menghargai kebebasan memilih. Sebab, kebebasan merupakan suatu kondisi manusia yang tidak terikat oleh unsur-unsur keburukan. Dengan terlepas dari nilai-nilai keburukan (al-harr), berarti manusia berada dalam kondisi yang baik (al-khair). Yang dimaksud dengan“kebaikan” disini adalah kemuliaan (al-karam), sebab, manusia yang mulia ialah manusia yang selalu menghambakan diri kepada Allah SWT dengan kebaikan-kebaikan. Hal ini merupakan refleksi salah satu sifat Allah SWT yaitu al-Karim (Yang Maha Mulia).

Untuk menjadi manusia yang mulia, perlu adanya upaya untuk selalu berjalan dalam kebaikan. Akan tetapi ini tidak mudah. Sebab lawan kata dari kebaikan ialah keburukan (al-sharr) yang akan selalu mengikuti sifat positif tersebut (kebaikan). Oleh sebab itulah Allah SWT memerintahkan manusia untuk selalu berada dalam posisi baik dengan memerintahkan untuk selalu berikhtiyar (upaya untuk memilih yang baik atau upaya untuk bebas dari keburukan) dengan selalu berperilaku sesuai petunjuk (al-huda) Allah  SWT. Jadi, ikhtiyar adalah upaya untuk memilih yang baik sedangkan al-karam (mulia) merupakan kondisi akhir jiwa yang terbebas dari belenggu keburukan. Hal ini sesuai dengan pendapat Syed Muhammad Naquib al-Attas (33:1995) bahwa ikhtiyar adalah upaya untuk memilih kebaikan dengan menggunakan ilmu.

Adapun tujuan manusia berikhtiyar yaitu untuk mendapatkan kemuliaan di dunia dan di akhirat. Untuk itu manusia harus memiliki akhlak yang baik. Baik itu kepada sesama manusia atau kepada Allah SWT. Maksudnya, akhlak yang baik akan dapat dilihat dari bagaimana cara seseorang berperilaku kepada manusia dan bagaimana cara ia beribadah kepada Allah SWT. Bahkan, cara beribadah seseorang dapat menjadi tolak ukur akhlaknya. Sebagaimana dalam Q.S. Al-Ankabut ayat 45 yang menjelaskan bahwa sesungguhnya shalat itu dapat mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar. Akan tetapi, pada faktanya banyak orang yang telah melakukan shalat namun tetap berbuat kemungkaran. Ini menunjukkan bahwa ada yang belum benar dalam shalatnya. Jadi, apabila ingin selalu berbuat baik yang perlu diperbaiki segera ialah cara mengerjakan shalatnya.

Dari penjelasan tersebut dapat kita ketahui bahwa sebenarnya manusia memiliki kedudukan yang mulia di antara makhluk-makhluk lainnya. Keunggulan tersebut dapat dinilai dari pemberian Allah SWT yang berupa akal. Hanya saja banyak dari manusia yang tidak menggunakan akalnya untuk berpikir tentang hakikat suatu syariat. Sehingga ia tidak dapat membedakan antara yang baik dan buruk. Dan ketika manusia tidak dapat menggunakan akalnya untuk kebaikan maka ia berada dalam kesesatan. Untuk itulah manusia diwajibkan oleh Allah SWT untuk melaksanakan shalat sebagaimana yang telah dicontohkan Rasulullah SAW. Dengan menjalankan shalat secara baik dan benar disertai dengan niatan yang ikhlas hanya untuk Allah SWT maka hal itu akan berdampak pada akhlaknya. Apabila shalatnya baik dan benar maka akhlaknya pun akan baik. Begitu juga sebaliknya.

2 Responses

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *