Dalam dunia yang semakin terhubung dan global, kemampuan berbicara lebih dari satu bahasa menjadi aset yang berharga. Proses memperoleh bahasa kedua, atau yang dikenal sebagai teori pemerolehan bahasa kedua, menjadi subjek penelitian yang mendalam dan penting. Sebagai manusia, kita memiliki kemampuan luar biasa untuk memahami dan menggunakan lebih dari satu bahasa, dan teori pemerolehan bahasa kedua memberikan landasan teoretis yang penting untuk memahami perjalanan ini.
Pentingnya pemerolehan bahasa kedua tidak hanya terbatas pada konteks akademis, tetapi juga mencakup aspek sosial, budaya, dan ekonomi. Dengan memahami teori di balik proses ini, kita dapat mengoptimalkan metode pembelajaran, meningkatkan efektivitas pengajaran, dan memahami dinamika kompleks yang terlibat dalam memperoleh bahasa kedua.
Artikel ini akan membahas beberapa teori pemerolehan bahasa kedua yang mendasari proses ini, memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana manusia memperoleh dan mengintegrasikan bahasa kedua ke dalam repertoar komunikatif mereka. Dari teori behavioristik hingga pendekatan kognitif dan sosial, kita akan menjelajahi konsep-konsep kunci yang membentuk landasan teoritis bagi mereka yang terlibat dalam proses belajar bahasa kedua.
Teori utama dalam pemerolehan bahasa kedua
Melalui pemahaman yang lebih dalam tentang teori pemerolehan bahasa kedua, kita dapat merancang lingkungan pembelajaran yang lebih responsif, meningkatkan strategi pengajaran, dan memastikan bahwa setiap individu memiliki akses yang setara untuk memperoleh keahlian bahasa kedua dengan cara yang paling efektif. Mari kita selami dunia pemerolehan bahasa kedua, dan bersama-sama kita eksplorasi jalan menuju pemahaman dan penguasaan yang lebih baik dalam mendekati tantangan dan keberagaman bahasa.
Bahasa merupakan manifestasi bunyi yang memiliki makna dan bersifat konvensional, berfungsi sebagai arbiter yang digunakan oleh sekelompok orang untuk berkomunikasi. Menurut Wibowo (2001: 3), bahasa memainkan peran penting dalam mengekspresikan perasaan dan pikiran. Perspektif yang serupa diungkapkan oleh Ferdinand De Saussure, yang melihat bahasa sebagai suatu pembeda yang menciptakan kesatuan dalam setiap kelompok masyarakat, yang dapat berlawanan atau memiliki perbedaan dengan kelompok lainnya.
Pernyataan ini sejalan dengan pandangan Chaer (1993:5), yang juga mengakui bahwa fungsi umum bahasa adalah sebagai alat komunikasi sosial dan penentu tingkah laku sosial. Jeans Aitchison (2008: 21) juga menekankan bahwa bahasa adalah sistem pola isyarat bunyi yang bersifat sewenang-wenang, ditandai dengan struktur yang tergantung pada konteks, kreativitas, kemampuan berpindah tempat, dualitas, dan transmisi budaya.
Bahasa dianggap sebagai kesepakatan bersama yang diatur dengan struktur tertentu, mampu menciptakan, dapat beradaptasi dengan konteks, memiliki sifat ganda, dan ditransmisikan melalui aspek-aspek budaya. Dengan demikian, bahasa tidak hanya menjadi alat komunikasi tetapi juga sebuah sistem yang terorganisir untuk menyampaikan makna dan memfasilitasi interaksi sosial dalam masyarakat. Pandangan ini memberikan pemahaman yang lebih luas tentang peran bahasa sebagai instrumen vital dalam menyampaikan pesan, membangun identitas kelompok, dan menciptakan kesatuan di dalam suatu komunitas.
Bahasa sebagai sistem kompleks untuk berkomunikasi, telah memikat perhatian banyak pakar dan peneliti selama bertahun-tahun. Pemahaman terhadap teori-teori pemerolehan bahasa kdua muncul sebagai landasan utama untuk memahami bagaimana manusia memperoleh, mengolah, dan menggunakan bahasa. Berikut ini kita akan membahas tiga teori utama pemerolehan bahasa kedua: Behaviorisme, Nativisme, dan Kognitivisme.
Teori Behaviorisme: Memahami Pembelajaran melalui Stimulus dan Respons
Teori Behaviorisme menekankan pembelajaran bahasa melalui stimulus dan respons. Menurut teori ini, individu memperoleh bahasa melalui asosiasi antara stimulus eksternal, seperti kata-kata atau kalimat, dengan respons yang dihasilkan, seperti pemahaman atau produksi kata-kata tersebut. B.F. Skinner adalah salah satu tokoh utama dalam pengembangan teori ini. Dalam konteks pemerolehan bahasa kedua, pendekatan ini menyoroti pentingnya latihan berulang, reinforcement positif, dan lingkungan pembelajaran yang mendukung.
Teori Behaviorisme, yang digagas oleh B.F. Skinner, menghadirkan pendekatan sistematis dalam memahami bagaimana manusia memperoleh bahasa. Dengan fokus pada stimulus dan respons, teori ini menegaskan bahwa pembelajaran bahasa terjadi melalui asosiasi antara stimulus eksternal, seperti kata-kata atau kalimat, dan respons yang dihasilkan, seperti pemahaman atau produksi kata-kata tersebut.
Dalam konteks pemerolehan bahasa, pendekatan behavioristik menyoroti pentingnya latihan berulang sebagai cara untuk memperkuat hubungan antara stimulus dan respons, memperjelas pola-pola bahasa yang akan diperoleh oleh individu. Pentingnya respon positif, seperti pujian atau penghargaan, juga menjadi fokus utama dalam memotivasi pembelajar dan memperkuat koneksi antara stimulus dan respons positif.
Selain itu, pembelajaran bahasa menurut teori ini ditekankan pada ciptaan lingkungan pembelajaran yang mendukung, di mana penggunaan stimulus dan respons dapat optimal. Teori Behaviorisme memberikan dasar sistematis untuk merancang strategi pembelajaran yang efektif dalam pemerolehan bahasa dengan mengakui peran krusial dari interaksi stimulus-respons dan pentingnya pembelajaran yang berulang.
Teori Nativisme: Pemikiran Bawaan dan Kemampuan Pemahaman Bawaan
Teori Nativisme berpendapat bahwa kemampuan untuk memahami dan menggunakan bahasa sebagian besar bersifat bawaan. Noam Chomsky, seorang ahli linguistik terkemuka, mengembangkan konsep tata bahasa universal, mengklaim bahwa manusia memiliki predisposisi bawaan untuk memahami struktur bahasa. Menurut teori ini, anak-anak tidak perlu mendapatkan pengajaran formal untuk memahami tata bahasa, karena kemampuan ini sudah tertanam dalam struktur kognitif mereka.
Teori Nativisme, dikembangkan terutama oleh Noam Chomsky, mengusung gagasan bahwa manusia dilahirkan dengan predisposisi bawaan untuk memahami dan menggunakan bahasa. Chomsky menciptakan konsep tata bahasa universal, suatu kerangka kerja yang mengklaim bahwa semua bahasa manusia memiliki struktur dan prinsip-prinsip yang sama, dan ini merupakan hasil dari predisposisi genetis yang dimiliki oleh manusia. Ini menantang pandangan behaviorisme yang menyatakan bahwa pemerolehan bahasa kedua sepenuhnya dipengaruhi oleh lingkungan eksternal.
Chomsky mengemukakan konsep Language Acquisition Device (LAD), yaitu mekanisme bawaan dalam pikiran manusia yang memfasilitasi pemerolehan bahasa kedua. LAD dianggap sebagai suatu “alat” yang memungkinkan anak-anak mengidentifikasi struktur tata bahasa dan memahami bahasa yang mereka dengarkan tanpa perlu petunjuk eksternal yang formal.
Meskipun teori Nativisme menyoroti peran bawaan dalam pemerolehan bahasa kedua, kritikus menekankan pentingnya interaksi dengan lingkungan. Mereka menunjukkan bahwa, meskipun kemampuan bawaan dapat membentuk dasar, pengalaman dan stimuli dari lingkungan tetap memainkan peran krusial dalam pengembangan bahasa anak. Lingkungan memberikan materi baku untuk aktivasi potensi bawaan.
Dalam konteks pemerolehan bahasa kedua, teori Nativisme menyarankan bahwa pendekatan pengajaran seharusnya mencerminkan kecenderungan alami manusia untuk memahami dan menguasai bahasa. Aktivitas yang merangsang pemahaman tata bahasa dan memberikan paparan kepada bahasa yang otentik dapat membantu membangkitkan potensi bawaan dalam pemerolehan bahasa kedua.
Dalam era digital dan global saat ini, teori Nativisme tetap relevan karena memberikan dasar untuk memahami perbedaan individu dalam pemerolehan bahasa kedua dan mengeksplorasi cara pendekatan pembelajaran yang menghargai potensi bawaan yang dimiliki oleh setiap individu.
Dengan mempelajari esensi teori Nativisme, kita dapat memahami kompleksitas dan keunikan dalam pemerolehan bahasa kedua, memberikan landasan untuk merancang pendekatan pembelajaran yang lebih kontekstual dan responsif terhadap kecenderungan alami manusia dalam memahami dan menggunakan bahasa.
Teori Kognitivisme: Peran Proses Kognitif dalam Pemerolehan Bahasa
Teori Kognitivisme terfokus pada peran proses kognitif, seperti pemrosesan informasi, memori, dan pemecahan masalah dalam pemerolehan bahasa. Menurut teori ini, individu membangun pemahaman bahasa mereka melalui aktifitas mental seperti pengorganisasian informasi, pemberian makna, dan pengembangan koneksi konsep. Jean Piaget, seorang psikolog perkembangan, memiliki peran besar dalam pengembangan teori ini, menekankan pentingnya perkembangan kognitif dalam pemerolehan bahasa.
Teori Kognitivisme menempatkan fokus utama pada peran proses kognitif dalam pemerolehan bahasa. Dibandingkan dengan teori Behaviorisme yang menekankan respons terhadap stimulus eksternal, teori Kognitivisme menyoroti aktivitas mental seperti pengorganisasian informasi, pembentukan konsep, dan pemecahan masalah sebagai elemen utama dalam pemahaman dan produksi bahasa.
Salah satu pemikir utama dalam pengembangan teori Kognitivisme adalah Jean Piaget, seorang psikolog perkembangan. Piaget mengemukakan bahwa pemahaman bahasa berkaitan erat dengan tahap perkembangan kognitif anak. Dalam kerangka ini, anak-anak dianggap aktif membangun pemahaman mereka melalui proses asimilasi (integrasi informasi baru ke dalam pemahaman yang ada) dan akomodasi (modifikasi pemahaman untuk mencerminkan informasi baru).
Teori Kognitivisme menekankan pentingnya struktur kognitif atau pola penyimpanan informasi dalam pikiran. Dalam pemerolehan bahasa, hal ini mencakup pemahaman pola kalimat, struktur tata bahasa, dan pengorganisasian konsep-konsep bahasa dalam sistem kognitif individu.
Salah satu aspek unik teori Kognitivisme adalah penekanan pada kreativitas dalam pemerolehan bahasa. Individu dianggap mampu menciptakan makna baru dan merespon situasi yang belum pernah mereka hadapi sebelumnya. Dalam konteks ini, bahasa dianggap sebagai sistem yang terstruktur yang memungkinkan kebebasan ekspresi dan kreativitas dalam penggunaannya.
Dalam konteks pembelajaran bahasa, teori Kognitivisme merangsang implementasi metode yang lebih berfokus pada menggali proses mental pembelajar. Pengajaran memerlukan kegiatan yang merangsang pemikiran kritis, pemecahan masalah, dan pemahaman konsep-konsep bahasa. Pembelajar diundang untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran dan membangun pengetahuan mereka melalui pengalaman langsung.
Dalam era digital, teori Kognitivisme tetap relevan. Teknologi modern dapat memberikan alat yang efektif untuk merangsang proses kognitif dalam pemerolehan bahasa, melalui penggunaan aplikasi, sumber daya daring, dan multimedia yang dapat memperkaya pengalaman pembelajaran.
Melalui teori Kognitivisme, kita memahami bahasa bukan hanya sebagai suatu tanda dan simbol yang dipelajari melalui respons terhadap stimulus, tetapi juga sebagai hasil dari aktivitas mental yang kompleks. Pendekatan ini memberikan landasan untuk pembelajaran bahasa yang lebih kontekstual dan berpusat pada perkembangan kognitif, memungkinkan pembelajar untuk meresapi dan menciptakan bahasa dengan cara yang kreatif dan bermakna.
Implikasi dan Interaksi Antara Teori-teori Pemerolehan Bahasa
Meskipun ketiga teori ini menawarkan pandangan yang berbeda, banyak penelitian modern menunjukkan bahwa pemerolehan bahasa kedua melibatkan interaksi antara semua faktor tersebut. Teori Behaviorisme menekankan pengaruh lingkungan dan stimulus eksternal, teori Kognitivisme menyoroti peran proses kognitif dalam pemahaman dan produksi bahasa kedua.
Teori Nativisme menyoroti aspek bawaan dalam pemahaman bahasa kedua. Pandangan ini memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang kompleksitas pemerolehan bahasa kedua. Teori Behaviorisme, dengan fokusnya pada stimulus eksternal dan respons, menyoroti peran lingkungan dan pengaruh stimulus eksternal dalam membentuk pemahaman dan produksi bahasa kedua. Pemikiran ini menciptakan landasan untuk pengajaran yang berorientasi pada latihan berulang dan penguatan positif dalam mencapai pemahaman yang mendalam.
Di sisi lain, teori Kognitivisme menekankan peran proses kognitif, seperti pengorganisasian informasi dan pemecahan masalah, dalam membentuk kemampuan bahasa kedua. Pemahaman ini membuka pintu untuk pendekatan pembelajaran yang menitikberatkan pada pengembangan keterampilan berpikir kritis dan paham konsep-konsep bahasa secara lebih mendalam.
Sementara itu, teori Nativisme, dengan penekanannya pada aspek bawaan dalam pemahaman bahasa kedua, menyiratkan bahwa faktor genetis memainkan peran kunci dalam kemampuan individu untuk memahami dan menggunakan bahasa kedua. Integrasi ketiga teori ini memberikan wawasan tentang bagaimana pemerolehan bahasa kedua tidak dapat dipahami sebagai proses yang terisolasi dari satu teori, melainkan sebagai hasil dari interaksi kompleks antara pengaruh lingkungan, proses kognitif, dan faktor bawaan. Keseluruhan, pandangan ini membentuk fondasi yang kaya dan holistik dalam memahami proses pemerolehan bahasa kedua manusia.