Sibawaih adalah Amr ibn Uthman ibn Qambar, beliau lahir dari bani al-Harith ibn Ka’ab ibn Amr ibn ‘ulah ibn Jald ibn Malik ibn Udud. Menurut abu Ali al-Baghdadi, “Sibawaih dilahirkan di Baidha’ dekat desa Siraz”. Kemudian beliau pergi ke Bashrah untuk menulis hadith, waktu itu beliau masih muda akan tetapi memiliki kecerdasan yang luar biasa dibandingkan teman sebayanya.
Adapun tahun kelahiran Sibawaih tidak ada data yang valid yang dapat dijadikan sandaran. Tapi, Yaqut mencoba untuk mengkaji dalam sebuah makalahnya sebagaimana diungkapkan : al-Murzibani berkata bahwa Sibawaih meninggal di Syiraz tahun 180 H, al-Khatib menambahkan bahwa ketika itu usia Sibawaih adalah 32 tahun, ada pula yang mengatakan bahwa Sibawaih wafat pada usia yang mendekati 40 tahun dan inilah analisa yang mendekati kebenaran. Inilah yang telah diriwayatkan oleh Isa ibn Umar, dan Isa ibn Umar wafat pada tahun 149 H. sedangkan jarak antara wafatnya Isa dan wafatnya Sibawaih adalah 31 tahun.
Sibawaih menyusun kitabnya yang terkenal dengan “al-Kitab” menggunakan madzab al-Khalil, Yunus, Abi Amr, Ibn Abi Ishaq dan lain-lain. Kitab tersebut pun telah banyak ditelaah oleh para nahwiyyin (sebutan bagi ulama Nahwu) terdahulu. Dan bukanlah berlebihan jika Sibawaih disebut dengan orang yang paling cerdas dan pandai di bidang Nahwu setelah masa Khalil. Sebab Sibawaih telah menciptakan karya yang luar biasa di bidang Nahwu sehingga kitab tersebut dijuluki dengan “Qur’an al-nahwi (al-Kitab)”, dikatakan demikian sebab tidak yang sebagus dan secerdas karya Sibawaih baik sebelum maupun setelahnya.
Dalam kitabnya, Sibawaih banyak membahas ilmu bahasa Arab seperti al-Nahwu, al-Sharaf, al-Ashwat, al-Qiraat dan al-Si’ir, dan selebihnya terdiri dari ilmu-ilmu yang saling melengkapi dan memiliki keterkaitan.
Kitab Qur’an al-nahwi (Al-Kitab)
Al-Kitab merupakan kitab terbesar yang mengupas secara detail tentang ilmu Nahwu. al-Kitab dibuat oleh Sibawaih dengan segala kecerdasannya ketika masih muda. Ia menuliskan karya tersebut setelah meninggalnya al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidi (th. 160). Dalam kitabnya, Sibawaih banyak mengutip pernyataan al-Khalil, sebab beliau merupakan guru dari Sibawaih. Adapun yang menyaksikan publikasi al-Kitab ialah Abu al-Hasan al-Akhfas (murid dari Sibawaih sendiri).
Dalam perjalanan karya Sibawaih tersebut, telah banyak ulama bahasa maupun para penulis buku yang berusaha memberikan nama terhadap “al-Kitab” dengan nama-nama yang berbeda. Hal ini dikarenakan Sibawaih belum sempat memberi nama bukunya, bahkan beliau pun belum menuliskan pendahuluan (mukaddimah) dan penutupnya karena terlebih dulu meninggal di usia yang relatif muda. Adapun yang ditulis pertama kali dalam bukunya yaitu tentang “Bab al-Kalimah” dalam bahasa Arab.
Adapun yang mempopulerkan al-Kitab bukanlah Sibawaih karena beliau tidak sempat melakukannya. Akan tetapi atas inisiatif muridnya (al-Akhfas al-Saghir) buku tersebut dikenalkan ke publik tanpa nama yang tetap. Oleh sebab itulah disebut “al-Kitab” yang artinya “Buku” tanpa mencirikan suatu apapun terhadap isinya. Akan tetapi nama ini telah melekat dalam benak setiap pengkaji ilmu bahasa Arab.
Karena al-Kitab memiliki kesempurnaan dalam cakupan ilmu, hingga saat ini buku tersebut masih dijadikan rujukan primer bagi siapa saja yang sedang menekuni bahasa Arab. Sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Khadijah al-Hadithi bahwa al-Kitab adalah buku terlengkap yang pertama dan terakhir yang membahas secara detail mengenai ilmu Nahwu.
Sibawaih mengumpulkan secara lengkap ilmu-ilmu Nahwu, Sharaf, dan materi-materi bahasa sehingga banyak para ahli Mu’jam (kamus) merujuk kepada al-Kitab untuk mencari kosa kata yang baru untuk dikembangkan kembali. Dalam menulis karyanya, Sibawaih banyak merujuk kepada al-Qur’an dan al-Hadith ketika menjelaskan tentang kaidah-kaidah mendasar yang tidak ditemukan dalam karya-karya sebelumnya.
Sibawaih percaya bahwa al-Qur’an dan al-Hadith adalah rujukan yang paling lengkap dan tidak akan terdapat kesalahan di dalamnya sebab al-Qur’an datang dari Allah Sang Pencipta alam dan seisinya. Konsep dasar itulah yang memberikan stimulus positif terhadap Sibawaih. Hal ini tercermin pada istilah-istilah maupun contoh-contoh yang dikemukakan oleh Sibawaih dalam menjelaskan kaidah suatu ilmu dalam al-Kitab.
Al-Kitab terdiri dari 5 jilid. Dalam jilid 1 dan 2 beliau berbicara banyak mengenai ilmu Nahwu, jilid 3 membahas kaidah-kaidah ilmu Sharaf, jilid 4 ilmu Lughah (bahasa) yang dibahas secara jelas dan lengkap, dan jilid ke 5 berisi tentang al-Qira’at dan hal-hal lain yang dijadikan bahan tambahan. Dalam jilid ke 4 tentang ilmu bahasa (dalam al-Kitab disebutkan dengan bab al-idgham) inilah penulis ingin meneliti dan mencoba mendiskripsikan kembali proses asimilasi yang banyak terjadi dalam bahasa Arab.

Kajian Linguistik Menurut Sibawaih
Kajian mengenai linguistik berkembang pesat pada pertengahan kedua dari tahun ke dua puluh. Ilmu linguistik atau yang lebih dikenal dengan ilmu bahasa saat ini lebih akrab di telinga para peminat kajian tersebut. Kajian ini berkaitan erat dengan “al-ashwat” atau fonologi. Untuk mengembangka kajian ini, banyak teknologi yang bermunculan yang turut mencoba menggali ilmu yang masih tersimpan.
Bahasa adalah fenomena universal yang denganya manusia bisa mentransfer makna kepada orang lain. Pada hakekatnya, bahasa tidaklah berubah akan tetapi yang berubah adalah susunan kata ketika diucapkan, dan inilah yang mempengaruhi berubahnya makna yang disampaikan seseorang.
Bahasa terdiri dari kata-kata yang tersusun rapi sehingga menghasilkan suatu kalimat tertentu. Adapun pengkajian yang paling menarik untuk dibahas yaitu studi fonetik yang meliputi pembahasan bagian kata-kata, baik yang meliputi makhraj dan sifat setiap kata-kata tersebut. Selain itu, studi fonetik atau fonologi juga meliputi perbedaan dari segi pengucapan dan lain-lain. Oleh sebab itulah dinamakan kajian al-ashwat dengan Phonetique.
Studi Fonologi Dalam “al-Kitab”
Fonologi atau dalam bahasa Arab disebut al-Shaut secara bahasa dapat diartikan sebagai bel (al-Jaras). Sedangkan dalam bentuk jama’ (al-Ashwat) sebagaimana diungkapkan oleh Ibn al-Sukkait, al-Shaut adalah suara manusia baik yang bersifat jelas maupun tidak. Adapun Ibn Jinni (w.392 H) dalam kitabnya Sirru Shina’ati al-I’raab, al-Shaut adalah ucapan yang keluar bersama dengan nafas secara terus menerus dan sambung menyambung sehingga sampai di tenggorokan, mulut dan kedua bibir. Suara yang keluar sepotong-sepotong disebut huruf yang masing-masing memiliki tekanan yang berbeda-beda.
Ibnu Jinni melanjutkan bahwa suara adalah salah satu sarana yang digunakan manusia untuk menyampaikan keinginannya. Jahid menambahkan, al-shaut (suara) adalah alat untuk berucap atau menuturkan kata-kata. Tanpa adanya kata-kata yang tersusun rapi maka suara tidak akan membentuk kalimat yang bisa dipahami maknanya.
Dalam pembahasan mengenai al-Shaut (suara), Sibawaih (w.182 H) menentukan tempat keluarnya huruf, sifat-sifatnya serta menyebutkan berbagai istilah yang telah digunakan oleh kebanyakan ulama bahasa modern. Seperti huruf “ل” yang keluar dari tepi lidah bawah sampai ke ujungnya. Selain itu, Sibawaih juga telah menentukan sifat pada setiap huruf seperti sifat Majhur (voises) dan Mahmus (non voises). Dalam al-Kitab, Sibawaih menambahkan bahwa dalam huruf hijaiyyah terdapat pula huruf yang bersifat keras (syiddah), lemah (al-rakhawah).