Salah satu konsep hati adalah as-Shadr. Shadr merupakan istilah yang datang dari bahasa Arab yaitu shadara-yashduru-shadran, bentuk pluralnya yaitu shudur. Dalam al-Mu’jam al-Wasith dikatakan bahwa hati disebut dengan istilah shadr karena itu merupakan sumber dari segala urusan. Shadr merupakan dimensi paling luar atau disebut juga dengan bagian terluar atau pertama dari hati. Shadr merupakan pintu utama masuknya pengetahuan ke dalam hati.
Dalam bahasa Hakim Tirmidzi, shadr adalah lapangan atau tempat bersemayamnya raja (hati). Senada dengan Tirmidzi, Raghib Al-Ashfahany juga mengatakan bahwa shadr merupakan tempat bersemayamnya hati atau jantung, akal bahkan ilmu pengetahuan. Ungkapan Tirmidzi dan Raghib tersebut sesuai dengan yang ada dalam al-Qur’an surat Al-Hajj : 46:
أَفَلَمۡ يَسِيرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَتَكُونَ لَهُمۡ قُلُوبٞ يَعۡقِلُونَ بِهَآ أَوۡ ءَاذَانٞ يَسۡمَعُونَ بِهَاۖ فَإِنَّهَا لَا تَعۡمَى ٱلۡأَبۡصَٰرُ وَلَٰكِن تَعۡمَى ٱلۡقُلُوبُ ٱلَّتِي فِي ٱلصُّدُورِ ٤٦
Artinya:
Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (Q.S. Al-Hajj : 46)
Secara sederhana posisi dimensi shadr, qalb, fuad dan lubb dapat diibaratkan seperti mata. Shadr bagaikan putihnya mata yang ada di dalam mata, shadr ialah pintu atau pusat masuknya segala sesuatu atau yang disebut juga dengan pusat hati. Sedangkan qalb ialah mata, fuad adalah hitamnya pupil mata, dan lubb adalah cahaya mata. Gambaran fungsi dimensi hati memang terkesan spiritual atau transcendent.
Baca Juga:
- Fuad : Dimensi Hati Untuk Memahami Hakekat Ilmu Pengetahuan
- Qalb Sebagai Dimensi Hati Yang Selalu Berbolak-Balik
- Lubb: Dimensi Hati Sebagai Sumber Kebenaran Ilahi
Tapi, memang begitulah berpikir secara benar yang diisyaratkan al-Qur’an yaitu dengan melibatkan unsur-unsur spiritualitas dari dalam jiwa manusia. Seperti unsur keTuhanan, perkara ghaib, dan lain sebagainya.
Dalam al-Qur’an istilah shadr disebutkan dalam dua bentuk. Dalam bentuk singular kata shadr diulang kurang lebih 9 kali. Sedangkan dalam bentuk plural kata tersebut diulang sebanyak 33 kali. Dan uniknya hampir semua lafadz shadr yang diungkapkan dalam al-Qur’an secara semantik leksikal dan gramatikal menunjuk makna “hati”, serta menunjuk sebagai tempat ilmu pengetahuan dan keberIslaman manusia. Hal ini dapat kita lihat melalui surat Az-Zumar : 22.
أَفَمَن شَرَحَ ٱللَّهُ صَدۡرَهُۥ لِلۡإِسۡلَٰمِ فَهُوَ عَلَىٰ نُورٖ مِّن رَّبِّهِۦۚ فَوَيۡلٞ لِّلۡقَٰسِيَةِ قُلُوبُهُم مِّن ذِكۡرِ ٱللَّهِۚ أُوْلَٰٓئِكَ فِي ضَلَٰلٖ مُّبِينٍ ٢٢
Artinya :
Maka Apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. mereka itu dalam kesesatan yang nyata.(Az-Zumar : 22)
Ar-Raghib al-Ashfahany menjelaskan bahwa cahaya Allah SWT (Islam) masuk ke hati orang yang taat melaui dadanya (shadr). Dan syarat untuk mendapatkan cahaya tersebut ialah selalu berdzikir atau mengingat Allah SWT. At-Thabari menambahkan bahwa manusia yang selalu berada dalam ketaatan dan kepatuhan terhadap syariat Allah maka ia berada dalam cahaya kebenaran-Nya.
Dan cahaya kebenaran Islam pada hakekatnya terdapat dalam hati. Oleh sebab itu, orang yang selalu berada dalam kebenaran sebenarnya hatinya telah mendapatkan hidayah. Sebaliknya, orang yang hatinya kosong terhadap kebenaran Islam maka ia termasuk orang yang sesat.
Hati dan setiap dimensinya memiliki keistimewaannya masing-masing. Pada dimensi shadr inilah syetan mengganggu manusia dengan segala tipu dayanya. Sebab nafs al-ammarah bi as-suu’ yang merupakan gambaran watak syetan selalu dihembuskan pada shadr manusia. Hal tersebut dapat kita ketahui melalui terminologi-terminologi yang digunakan dalam al-Qur’an, seperti dalam surat an-Naas : 5-6.
ٱلَّذِي يُوَسۡوِسُ فِي صُدُورِ ٱلنَّاسِ ٥ مِنَ ٱلۡجِنَّةِ وَٱلنَّاسِ ٦
Artinya:
Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia * dari (golongan) jin dan manusia. (An-Naas: 5-6)
Dalam ayat di atas terminologi yang digunakan untuk menunjuk dimensi hati yang berada dalam dada manusia ialah istilah shudur. Ini berarti dimensi yang selalu mendapatkan gangguan dari syetan ialah shudur.
Hal tersebut sejalan dengan apa yang telah ditulis Al-Maraghi dalam tafsirnya. Beliau juga menambahkan bahwa keragu-raguan (syak) juga terdapat di dalam dimensi shadr dan bukan dimensi qalb. Adapun golongan yang selalu mengganggu datang dari dua golongan yaitu jin dan manusia. Keterangan tersebut juga dapat kita temukan dalam suratt Al-An’aam : 112
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الإنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ
Artinya:
Dan Demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, Yaitu syetan-syetan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.(Al-An’aam : 112)
Adapun yang dimaksud syetan di sini berasal dari jenis jin dan manusia yang selalu berupaya untuk menipu manusia agar tidak beriman kepada apa yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Dan Allah SWT merupakan Dzat yang Maha Menguasai isi hati manusia. Ini dapat kita lihat melalui ayat berikut:
… وَلِيَبْتَلِيَ اللَّهُ مَا فِي صُدُورِكُمْ وَلِيُمَحِّصَ مَا فِي قُلُوبِكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ
Artinya :
…. dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha mengetahui isi hati (Ali Imran : 154)
Dalam beberapa ayat, Allah menggunakan terminologi “ad-dhayiq/yadhiqu” yang artinya “kesempitan” untuk menunjuk sifat negatif yang bisa dialami oleh shadr.Sebagaimana dalam surat As-Syu’ara’ : 12-13 berikut:
قَالَ رَبِّ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يُكَذِّبُونِ * وَيَضِيقُ صَدْرِي وَلا يَنْطَلِقُ لِسَانِي فَأَرْسِلْ إِلَى هَارُونَ
Artinya:
Berkata Musa: “Ya Tuhanku, Sesungguhnya aku takut bahwa mereka akan mendustakan aku. Dan (karenanya) sempitlah dadaku dan tidak lancar lidahku Maka utuslah (Jibril) kepada Harun. (Q.S. As-Syu’ara’ : 12-13)
Dan juga:
وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُولُونَ
Artinya:
Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan (Q.S. Al-Hijr : 97)
Hakim Tirmidzi mengatakan bahwa shadr manusia menjadi sempit karena ia dalam keadaan bodoh. Dengan kata lain, seseorang yang shadr-nya sempit berarti tidak memiliki ilmu pengetahuan dan tidak memiliki kemauan yang kuat untuk mencari hidayah Allah SWT.
Kondisi manusia yang bodoh atau sempit shadr-nya maka secara tidak langsung telah memperluas ruang kebathilan dalam dirinya. Begitu pula sebaliknya, ketika tempat untuk kebathilan menyempit, maka ruang untuk kebenaran (haqq) yang didapatkan melalui ilmu pengetahuan menjadi lebih luas. Artinya, ini adalah suatu pilihan yang mana manusia harus lebih cerdas dalam menentukan mana yang haqq dan mana yang bathil berdasarkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya.
Untuk itu ilmu seseorang sangat mempengaruhi segala apa yang dilakukannya. Di sinilah peran kebebasan manusia yang berupa ikhtiyar yaitu memilih yang baik untuk dirinya dengan proses berpikir (tafakkur).
Adapun shadr seorang mukmin menjadi sempit juga dapat dikarenakan banyaknya gangguan yang datang dari syetan. Terkadang seorang mukmin mengikuti hawa nafsunya, dan terkena musibah. Sempitnya shadr juga bisa terjadi karena seringkali mendengar atau melihat suatu kebathilan dan tidak menyertakan hatinya (qalb) dalam memahami kebathilan tersebut.
Adapun orang kafir telah terisi shadr-nya dengan kegelapan kekafiran, kesyirikan dan keragu-raguan. Sehingga tidak tersisa lagi tempat untuk cahaya Islam atau kebenaran dalam hatinya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa letak dari kekafiran (Q.S. An-Nahl : 106) dan keberIslaman (Q.S. Al-An’am : 125) ialah dalam dimensi shadr yang sarat akan nilai-nilai ilahiyyah dan terdapat juga kemungkinan untuk menolak nilai-nilai tersebut.
Hakim Tirmidzi memiliki definisi tentang iman dan Islam serta keterkaitannya dengan hati. Menurutnya, iman berarti membenarkan segala apa yang benar dan menerimanya dalam hati (qalb) kemudian menetapkannya dengan lisan bahwa yang diimani tersebut ialah suatu kebenaran.
Sedangkan Islam adalah keyakinan akan kebenaran dengan hati, menerimanya serta istiqamah dalam melaksanakan kebenaran tersebut dan menjauhi apa yang dilarang Allah SWT. Menurut Tirmidzi shadr dalam konteks ini (dimensi hati) adalah bagian terluar dari organ hati (qalb) tapi masih termasuk bagian dari hati itu sendiri.
3 Responses