Bulan Ramadhan merupakan bulan yang istimewa. Bulan dimana diturunkannya al-Qur’an agar umat Islam menjadi orang yang bertakwa. Imaduddin Abi al-Fida dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan orang yang bertakwa adalah mereka yang beriman kepada Allah SWT. Pribadi muslim beriman inilah modal utama untuk membangun peradaban Islam.
Umat muslim yang hidup pada masa kejayaan Islam dulu pernah berhasil membangun peradaban besar. Peradaban tersebut menyebar luas dan banyak mempengaruhi segala aspek kehidupan. Namun peradaban itu hancur sejak terjadinya Perang Salib yang terjadi pada 1096 hingga 1270. Bernard Lewis mengatakan bahwa imperialisme Barat yang bersifat ekspansionis telah berhasil menghancurkan peradaban Islam. Sehingga peradaban Barat mampu menguasai peradaban dunia.
Tulisan ini akan membahas tentang momentum perubahan pada bulan Ramadhan. Khususnya perubahan dalam aspek pemikiran untuk menata dan membangun kembali peradaban yang sesuai dengan nilai-nilai keIslaman.
Strategi Rekonstruksi Peradaban
Rusaknya suatu peradaban dapat disebabkan oleh faktor sumber daya manusia yang jauh dari nilai agama. Ibn Khaldun memiliki catatan bahwa hancurnya peradaban Islam lebih diakibatkan oleh rusaknya akhlak dan intelektual. Ketika umat Islam tidak lagi mengimplementasikan nilai-nilai agama dan lebih mengedepankan materi maka sumber daya umat Islam akan lebih rapuh dan mudah dihancurkan oleh pemikiran dan gerakan yang bertentangan dengan Islam.
Salah satu tantangan terbesar umat Islam saat ini adalah perang pemikiran (al-ghazwul al-fikr). Perang pemikiran memang bukan hal yang baru dalam Islam. Meskipun demikian, ancaman inilah yang justru mampu mengeluarkan umat Islam dari agamanya. Bahkan lebih bahaya lagi, perang ini bisa mengakibatkan muslim memerangi agamanya sendiri. Karena masalah pemikiran, maka tidak dapat terlepas dari konteks keilmuan.
Al-Attas mengatakan bahwa konsep ilmu yang dipahami umat Islam saat ini lebih mengedepankan akal dari pada wahyu. Inilah yang menjadi salah satu penyebab kemunduran umat Islam. Akal yang seharusnya tunduk kepada wahyu kini dibalik. Wahyu (al-Qur’an) dihujat dan akal dituhankan. Karena meninggikan akal di atas wahyu, maka ilmu yang dihasilkan akhirnya menjadi sekuler. Paham sekuler ini berusaha untuk melepaskan unsur agama dari keilmuan.
Selain itu, arus globalisasi yang dibawa oleh peradaban Barat menjadi bagian dari tantangan Islam. Arus ini telah menebarkan benih-benih sekularisme, liberalisme, dan pluralisme. Paham-paham tersebut ingin menghapuskan agama dari tataran kehidupan manusia. Faktanya, ilmu ekonomi, sosial, politik, pendidikan bahkan budaya kini benar-benar menjauh dari unsur-unsur agama. Artinya, globalisasi telah sukses memisahkan agama dari semua bidang keilmuan. Itulah hakekat dari peradaban Barat.
Islam sebagai agama (din) sejatinya telah memiliki konsep peradaban yang berbeda dengan Barat. Hal ini dapat ditinjau dari kata din itu sendiri, seperti yang disampaikan oleh al-Attas dalam Prolegomena bahwa din memiliki makna keberhutangan, susunan kekuasaan, struktur hukum, dan kecenderungan manusia untuk membentuk masyarakat yang mentaati hukum dan mencari pemerintah yang adil.
Dalam konsep din terdapat sistem kehidupan. Sebuah sistem yang berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits. Ketika agama Islam (din) telah disempurnakan dan diterapkan, maka tempat itu diberi nama madinah. Dari akar kata tersebut terciptalah kata baru madana, yang berarti membangun, mendirikan kota, memajukan, memurnikan dan memartabatkan. Dan akhirnya membentuk terminologi baru yaitu tamaddun atau peradaban.
Menurut Yves Brunsvick (terj.) dalam Lahirnya Sebuah Peradaban: Goncangan Globalisasi (2005), arus globalisasi telah membawa dampak perubahan peradaban. Baik dari budaya, bahasa, agama dan sistem. Semuanya telah berubah. Tergantung oleh siapa yang mampu mengiringi globalisasi tersebut. Ini menunjukkan bahwa saat ini peradaban yang menguasai dunia datang dari peradaban Barat. Pernyataan ini diamini oleh Budi Winam dalam bukunya Globalisasi & Krisis Demokrasi (2007). Ia menyatakan bahwa salah satu bukti suksesnya arus globalisasi ialah terjadinya perubahan sistem pemerintahan yang demokratis.
Peradaban Barat yang dibawa oleh globalisasi tidak sejalan dengan konsep peradaban Islam. Jika Barat maju karena meninggalkan agama, Islam tidak demikian. Menurut Ibn Khaldun dalam The Muqaddimah: an Introduction to History (1978 : 54-57), suatu peradaban akan mampu terwujud apabila tiga hal pokok telah terpenuhi, yaitu, 1) Kemampuan manusia untuk berpikir yang menghasilkan sains dan teknologi, 2) Kemampuan berorganisasi dalam bentuk kekuatan politik dan militer, 3) kesanggupan berjuang untuk hidup.
Lebih lanjut, Ibn Khaldun mengatakan bahwa tanda terwujudnya peradaban ialah dimana ilmu pengetahuan seperti fisika, kimia, geometri, aritmatika, astronomi, optik, kedokteran, dsb. berkembang secara pesat. Bahkan maju mundurnya suatu peradaban tergantung atau berkaitan dengan maju mundurnya ilmu pengetahuan. Jadi substansi peradaban yang terpenting dalam teori Ibn Khaldun adalah ilmu pengetahuan. Namun, bukan berarti itu adalah satu-satunya substansi peradaban.
Hamid Fahmy Zarkasyi dalam Peradaban Islam (2010) mengajukan strategi sebagai solusi untuk membangun kembali peradaban Islam. Pertama, Memahami sejarah jatuh bangunnya peradaban Islam di masa lalu. Kedua, Memahami kondisi umat Islam masa kini dan mengidentifikasi masalah atau problematika yang sedang dihadapi umat Islam masa kini. Dan ketiga, Sebagai prasyarat bagi poin kedua, adalah memahami kembali konsep-konsep kunci dalam Islam.
Karena dasar peradaban Islam adalah agama dan ilmu pengetahuan, maka solusi untuk memahami kembali konsep-konsep dasar Islam adalah tepat. Upaya ini lebih populer disebut dengan Islamisasi. Artinya, mengembalikan esensi konsep keilmuan sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadits. Islamisasi merupakan tugas besar umat Islam saat ini. Adapun harapan dari upaya tersebut ialah terintegrasinya ilmu pengetahuan dengan agama. Inilah yang akan menjadi pondasi peradaban Islam.
Naquib al-Attas mengatakan bahwa untuk membangun kembali tatanan konsep Islam dalam diri umat muslim diperlukan satu upaya mendasar yaitu Islamisasi ilmu pengetahuan. Islamisasi ini mutlak dilakukan karena melihat ilmu pengetahuan banyak yang sekuler. Karena ilmu pengetahuan telah dijauhkan dengan ilmu agama, maka umat Islam harus mengembalikannya sesuai nilai-nilai agama Islam. Dengan demikian, upaya untuk membangun kembali peradaban Islam dapat dilakukan dengan cara menanamkan ilmu pengetahuan yang telah terintegrasi dengan nilai-nilai agama.
Asas Dalam Membangun Peradaban Islam
Disamping islamisasi ilmu pengetahuan, aspek kemuliaan manusia juga merupakan asas penting dalam membangun peradaban Islam. Konsep kemuliaan dalam Islam dapat dipahami melalui terminologi al-karam. Kata al-Karam merupakan bentuk derivasi dari kata karuma yang berarti kemuliaan. Kata ini biasa digunakan untuk menunjuk kondisi akhir derajat sesuatu. Selain kata karam, menurut Shauqi Dhaif dalam al-Mu’jam al-Wasith makna kemuliaan juga ditunjukkan pada konsep sharaf dan‘izzah yang masing-masing berkonotasi sama dengan kata karam.
Adapun lawan kata dari karam ialah al-lu’m (kehinaan). Artinya, ketika sifat mulia tersebut disematkan kepada manusia maka kata tersebut menunjukkan bahwa kondisi manusia tersebut telah terlepas dari suatu kehinaan. Jadi, tindakan buruk (sharr) justru akan menjadikan manusia jauh dari sifat mulia. Ini berarti ia belum mencapai derajat kemuliaan yang sebenarnya dalam Islam.
Ibn Mandzur dalam Lisan al-‘Arab menyebutkan bahwa al-karam adalah turunan dari sifat Allah SWT yaitu al-Karim yang berarti Yang Maha Pemilik Kebaikan yang mutlak. Lebih lanjut, ia menyimpulkan bahwa al-karam merupakan kata yang mencakup unsur-unsur kebaikan (al-khair), kemuliaan (al-fadhilah), dan terpuji (al-hamd).
Dalam kitab Mu’jam al-Alfadz al-Qur’an al-Karim disebutkan bahwa dalam al-Qur’an kata karam dengan segala bentuk derivasinya memiliki beberapa makna. Diantara makna tersebut ialah al-in’am, selain itu, kata tersebut juga digunakan untuk menunjuk kemuliaan al-Qur’an (kitabun karim) (Q.S.an-Naml:29), rizki yang baik (rizqun karim) (Q.S.al-Anfal:4), balasan yang besar (ajran karima) (Q.S.al-Ahzab:44), dan lain sebagainya. Dari semua makna tersebut dapat diketahui bahwa karam merupakan keadaan yang baik bahkan merujuk kepada Sang Maha Pemberi Kebaikan yaitu Allah SWT.
Pada dasarnya semua manusia dilahirkan dalam keadaan suci dan mulia. Salah satu bentuk kemuliaan manusia diantara makhluk lainnya ialah diberikannya hati (qalb) sebagai organ untuk memahami ayat-ayat Allah SWT. Akan tetapi, dalam perjalanan hidupnya manusia cenderung kalah dengan hawa nafsu dan lebih memilih jalan yang sesat (dhalal).
Ketika manusia berbuat tercela di muka bumi maka sebagai akibatnya ialah kekufuran (kufr). Artinya ia tidak menggunakan hati (qalb) sebagaimana fungsinya, yaitu untuk memikirkan dan memahami (tafakkur) ayat-ayat Allah SWT. Dengan demikian ia pun tidak memperhatikan bahwa Allah SWT telah memberikan petunjuk (huda) berupa Al-Qur’an. Jadi, untuk mencapai derajat kemuliaan (karam), manusia hendaknya selalu memikirkan serta memahami (tafakkur) tanda-tanda (ayat) yang telah diturunkan yaitu al-Qur’an. Sebab, dengan berpikir (tafakkur) itulah manusia akan bisa mencapai derajat yang mulia. Kemampuan berfikir inilah yang menjadi elemen dasar dalam membangun peradaban Islam.
Penutup
Bulan Ramadhan hendaknya menjadi momentum perubahan bagi umat Islam secara menyeluruh baik aspek jasmani maupun rohani. Khususnya, merubah diri dengan cara meningkatkan kualitas pemikiran yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Dan untuk menerapkan nilai Islam kita tidak perlu menjadi sekuler yang justru akan menjerumuskan kita pada kesesatan yang bertentangan dengan agama Islam.
Sebagai catatan akhir, peradaban Islam adalah peradaban yang total. Peradaban Islam tidak terlepas dari nilai-nilai agama, pendidikan, politik, ekonomi, sosial, dll. yang saling terintegrasi. Islam adalah peradaban yang menjunjung nilai ketuhanan (tauhid) dan ilmu pengetahuan (sains). Untuk itu, umat Islam perlu melakukan dua hal penting yaitu Islamisasi ilmu pengetahuan yang sekuler dan membangun sumber daya manusia yang mampu mengintegrasikan ilmu pengetahuan dengan nilai agama.
*Artikel ini telah diterbitkan di majalah SINTESA (Majalah IKPM Gontor cabang Sudan)
One Response