Dimensi hati dapat dipahami melalui 4 terminologi utama yaitu Shadr, Qalb, Fuad, Aql. Semua dimensi tersebut merujuk pada hal yang sama yaitu hati. Pada artikel sebelumnya telah dibahas tentang Shadr, Dimensi Hati Sebagai Pintu Kekafiran dan Keimanan. Silahkan dibaca terlebih dahulu sebelum melanjutkan membaca artikel ini.
Terminologi qalb merupakan istilah bahasa Arab. Dalam Al-Mu’jam Al-Wasith kata Qalb yang memiliki akar kata qalaba berarti membalikkan, mengganti, berubah-ubah, dan berbolak-balik. Dari akar kata yang sama didapatkan turunan kata lain yaitu qallaba yang artinya melihat sebab akibat dari suatu kejadian atau lebih tepatnya mempertimbangkan akibat dari suatu kejadian.
Istilah inqilab yang merupakan hasil turunan dari kata qalaba juga sering digunakan dalam peradaban Persia modern untuk menjelaskan makna sebuah konsep revolusi atau perubahan suatu sistem kenegaraan. Dari akar kata yang sama juga digunakan untuk menunjuk Allah SWT sebagai Sang Maha Membolak-balikkan hati (muqallib al-qulub).
Qalb merupakan dimensi hati setelah shadr. Adnan an-Nahwi mengatakan bahwa qalb adalah tempat niat, kehendak, dan azam. Baginya, qalb adalah dimensi hati yang bisa menjadikan manusia baik atau buruk. Al-Qalb juga merupakan pusat bersemayamnya hidayah, iman dan wawasan kesadaran yang mendalam atau ilmu.
Adapun dimensi ini memiliki sifat yang transenden atau tidak tampak dengan mata. Dan salah satu kemampuan dimensi qalb yaitu memahami tanda-tanda kekuasaan Allah SWT. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Q.S. Al-Hajj: 46
Artinya:
Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (Q.S. Al-Hajj : 46)
Secara umum ayat tersebut merupakan bentuk teguran Allah SWT kepada orang-orang yang ingkar terhadap kebenaran. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa fungsi hati ialah memahami (qulubun ya’qilun biha) tanda kekuasaan dan kebenaran Allah SWT.
Dengan kata lain ‘aql adalah sifat, daya atau kemampuan qalb (dimensi hati) dan tidak menunjuk pada organ tertentu (kecuali hati). Untuk itulah Allah SWT menegaskan bahwa kondisi orang-orang kafir atau orang yang tidak berakal itu buta hatinya (yang terdapat dalam shadr (dada)) dan bukan buta pada mata yang ada di kepala.
Dimensi Hati (qalb) dalam al-Qur’an secara majas seringkali diartikan dengan istilah nafs (jiwa). Hal tersebut dapat dilihat melalui Q.S. Al-Baqarah : 235,
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ
Artinya:
Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (Q.S. Al-Baqarah : 235)
Dalam ayat tersebut terminologi yang digunakan untuk menunjuk makna “hati” ialah “anfusikum” yang merupakan bentuk jama’ dari nafs. Ini menunjukkan bahwa hati juga berfungsi sebagai sumber ilmu manusia, yang mana ilmu-ilmu yang terdapat dalam hati tersebut tidak akan luput dari pengetahuan Allah SWT.
Untuk itulah pendengaran, penglihatan dan hati akan dimintai pertanggungjawaban pada hari pembalasan nanti sebagai organ yang memiliki peran utama dalam mencari ilmu dan mendapatkan kebenaran dari ilmu tersebut. (Lihat: Q.S. Al-Isra’ : 36).
Selain itu, qalb juga merupakan tempat bersemayamnya keimanan manusia. Hal tersebut dapat ditelaah melalui Q.S. An-Nahl : 106.
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Artinya:
Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (An-Nahl : 106)
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa keimanan dan kekafiran seseorang sangat bergantung pada hatinya. Lebih jelasnya, terminologi iman seringkali disandingkan dengan istilah qalb (wa qalbuhu muthma’innun bil iman). Sementara istilah kufr berhubungan dengan terminologi shadr (bil kufri shadran).
Senada dengan hal tersebut sebagaimana dijelaskan oleh Hakim Tirmidzi dalam kitabnya Bayan Al-Farq baina As-Sadr, Al-Qalb, Al-fuad wa Al-Lubb bahwa hati (qalb) merupakan tempat ketaqwaan, kedamaian (as-sakinah), at-tuma’ninah, kesucian (at-thaharah), dll. Beliau juga menambahkan bahwa tidak ada suatu penciptaan apapun sebaik penciptaan hati yang tunduk kepada cahaya tauhid, ma’rifah dan iman.
Hati juga berfungsi sebagai dimensi yang mampu menerima kebenaran. Dan orang yang tidak menggunakan hatinya untuk memikirkan kebenaran ilmu-ilmu Allah SWT justru hatinya akan mati. Dan ketika hati seseorang telah mati maka sumber ketaqwaan, keimanan pun tertutup dan akhirnya yang terjadi adalah kekafiran dan kemusyrikan.
Sebaliknya, dimensi hati yang telah memahami kebenaran, menurut terminologi Islam disebut qalbun salim. Menurut Fathullah Gulen, istilah qalbun salim adalah hati yang selamat dari penyakit atau kerusakan apapun. Adapun pengertian khususnya ialah hati yang tidak mengenal Tuhan selain Allah SWT.
Dengan kata lain, hati yang selamat ialah hati yang bebas dari segala hal yang membahayakan manusia. Hal ini tentu sejalan dengan hadith Nabi: “yang disebut muslim ialah orang yang kata-kata dan perbuatannya tidak menyakiti muslim lainnya”. Artinya, perkataan dan perbuatan manusia merupakan cerminan dari hati manusia.
Istilah qalb juga seringkali disandingkan dengan istilah nafs (jiwa) dan ‘aql (akal). Ketiganya memiliki perbedaan, nafs memiliki pengertian yang lebih luas yaitu sebagai diri manusia yang terdiri dari aspek jasmani dan rohani. Istilah nafs lebih bersifat umum dari pada qalb yang berarti hati.
Akan tetapi, kadang juga bersifat khusus yakni ruh yang terdapat dalam diri manusia yang mengarahkan perilaku manusia. Adapun qalb bersifat lebih umum dari pada ‘aql. Ketiga hal tersebut masing-masing memiliki karakteristik tersendiri.
Akan tetapi, ketika nafs dan qalb disebutkan dalam al-Qur’an secara bersamaan, maka pada saat itu pula definisi qalb adalah tempat dimana suatu keinginan bersemayam dan nafs merupakan tempat dimana syahwat manusia bersemayam.
Sedangkan apabila disebutkan hanya salah satu maka definisinya tergantung pada struktur kalimat yang ada. Namun, yang terpenting untuk dipahami adalah bahwa manusia merupakan satu kesatuan yang utuh dan bukan dimensi yang terkotak-kotak terpisah.
Baca Juga:
- Fuad : Dimensi Hati Untuk Memahami Hakekat Ilmu Pengetahuan
- Shadr : Dimensi Hati Sebagai Pintu Kekafiran dan Keislaman
- Lubb: Dimensi Hati Sebagai Sumber Kebenaran Ilahi
Dalam Q.S. Al-Ahzab ayat 4, dikatakan bahwa Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya. Hal ini menunjukkan bahwa hati dalam perspektif Islam adalah jantung sebagaimana dipahami dalam ilmu Biologi. Sebab, kedua terminologi tersebut sama-sama menunjuk terhadap tanggung jawab hati sebagai fungsi penggerak tubuh secara keseluruhan. Maka sangat mustahil jika hati dan jantung adalah organ yang berbeda dan memiliki fungsi yang berbeda pula.
Adapun dalil yang menunjukkan fungsi hati sebagai alat untuk memahami ayat-ayat Allah adalah Q.S. al-A’raaf ayat 179. Dalam ayat tersebut Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa orang yang berpikir tidak menggunakan hatinya, sama halnya seperti binatang ternak dan bahkan lebih sesat lagi. Dan itulah tanda-tanda orang yang lalai terhadap firman Allah SWT.
Dalam perspektif ilmu psikologi Islam, hati beserta dimensinya memiliki fungsi yang saling berkaitan yang dapat dilihat dalam penggunaan terminologi dalam al-Qur’an. Adapun hati berdasarkan fungsinya antara lain ialah: 1) as-Sadr, yaitu tempat perasaan was-was, 2) al-Qalb merupakan tempat iman, 3) as-Syagaf yaitu tempat cinta, 4) al-fuad yang memiliki kemampuan dalam memelihara kebenaran, 5) Habat al-Qalb sebagai tempat cinta dan kebenaran, 6) al-Suwida, yaitu tempat ilmu dan agama, 7) Mahajah al-Qalb, yang merupakan manifestasi sifat-sifat Allah SWT, 8) al-Dhamir, merupakan tempat merasa dan daya rekoleksi (al-quwwah al-hafidzah), 9). Al-Sirr, sebagai bagian qalb yang paling halus dan rahasia.
Jika kita mengkaji secara mendalam, fungsi qalb pada dasarnya berkaitan erat dengan fungsi akal. Sebagaimana yang disampaikan oleh Baharuddin bahwa qalb juga memiliki beberapa fungsi selain yang telah disebutkan di atas. di antaranya adalah fungsi kognisi yang mampu menimbulkan daya cipta, seperti berfikir (al-fikr), memahami (al-fiqh), mengetahui (al-ilm), memperhatikan (dabaro), mengingat (dzikr), dan melupakan (ghufl).
Selain itu, qalb juga memiiki fungsi emosi yang mampu menimbulkan daya rasa seperti tenang (tuma’ninah), sayang (ulfah), senang, santun dan penuh kasih sayang (ra’fah wa rohmah), tunduk dan bergetar (wajilat), mengikat (ribat), kasar (galiz), takut (ru’b), dengki (gill), berpaling (dzaiq), panas (ghalit), sombong (hamiyah), dan kesal (isyma’azza). Serta fungsi konasi yang mampu menimbulkan daya karsa, seperti berusaha atau bekerja (kasb).
Berbicara tentang hati dan fungsinya memang sulit untuk digambarkan secara sempurna. Ini dikarenaka sifat qalb yang ghaib dan tidak tampak dengan kasat mata dan tidak dapat dideteksi oleh indera apapun. Sebagaimana dikatakan oleh al-Ghazali sulitnya mengkaji kerja hati lebih disebabkan karena hati merupakan alam al-amri.
Kerja hati tidak dapat dibuktikan secara empiris dan maupun dengan eksperimen, sehingga hasil kajian atau ilmu yang membahas tentang hakekat ruh masih sangat sedikit. Dan memang seperti itulah cara Allah SWT menyimpan sebagian ilmunya. Ini menunjukkan bahwa ilmu manusia benar-benar sangat sedikit jika dibandingkan dengan ilmu Allah SWT yang mencakup alam dhahir dan ghaib.
3 Responses