Pluralisme Agama dan Konsep Toleransi Dalam Perspektif Islam

Pluralisme Agama dan Konsep Toleransi dalam Islam

Pluralisme agama adalah pandangan dunia yang menyatakan bahwa agama seseorang bukanlah sumber satu-satunya yang eksklusif bagi kebenaran, dan dengan demikian di dalam agama-agama lain pun dapat ditemukan, setidak-tidaknya, suatu kebenaran dan nilai-nilai yang benar. Paham ini sangat membenci asumsi kebenaran yang hanya ada dalam satu agama saja. Oleh sebab itu, supaya tidak menimbulkan pertentangan, semua agama harus saling toleran terhadap agama lainnya, termasuk toleran dalam hal kebenaran keyakinan agama-agama. Argumen tersebut didasari keyakinan akan tataran eksoterik dan esoterik semua agama adalah sama. Dan Itulah salah satu doktrin utama paham Pluralisme yang digagas oleh John Hick dan Frithjof Schuon.

Kata toleransi perspektif Barat berbeda dengan prinsip toleransi dalam agama Islam. Toleransi dalam pandangan Barat harus diberlakukan dalam ruang lingkup bersosial dan beraqidah. Ini tentu bertentangan dengan Islam. Sebab, Islam yakin bahwa Islam adalah agama satu-satunya yang diterima oleh Allah SWT sehingga aqidah Islam tidak dapat disama-ratakan dengan agama lainnya.  Adapun toleransi dalam Islam adalah toleransi hanya dalam bidang muamalah, bukan aqidah. Masalah aqidah, Islam tidak punya pilihan lain kecuali Allah SWT. Penulis merasa bahwa pengkajian konsep toleransi dalam Islam sangat diperlukan untuk mengetahui benang merah perbedaan antara konsep toleransi Barat dan Islam. Untuk itu, makalah ini akan membahas tentang konsep toleransi dalam Islam.

Konsep Toleransi  Versus Konsep Pluralisme Agama

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai konsep toleransi dalam Islam, ada baiknya apabila penulis menjelaskan sedikit tentang konsep toleransi dalam pandangan Barat. Dengan ini penulis ingin berupaya mendudukkan terminologi “toleransi” sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Dengan demikian, konsep toleransi –nantinya- tidak serta-merta digunakan baik dalam hal muamalah atau pun aqidah tanpa landasan yang benar.

Istilah “Tolerance” (toleransi) adalah istilah modern, baik dari segi nama maupun kandungannya. Istilah ini pertama kali lahir di Barat, di bawah situasi dan kondisi politis, sosial dan budayanya yang khas. Toleransi berasal dari bahasa Latin, yaitu “tolerantia”, yang artinya kelonggaran, kelembutan hati, keringanan dan kesabaran. Dari sini dapat dipahami bahwa toleransi merupakan sikap untuk memberikan hak sepenuhnya kepada orang lain agar menyampaikan pendapatnya, sekalipun pendapatnya salah dan berbeda.

Secara etimologis, istilah tersebut juga dikenal dengan sangat baik di dataran Eropa, terutama pada revolusi Perancis. Hal itu sangat terkait dengan slogan kebebasan, persamaan dan persaudaraan yang menjadi inti revolusi di Perancis. Ketiga istilah tersebut mempunyai kedekatan etimologis dengan istilah toleransi. Secara umum, istilah tersebut mengacu pada sikap terbuka, lapang dada, sukarela dan kelembutan. Kevin Osborn mengatakan bahwa toleransi adalah salah satu pondasi terpenting dalam demokrasi. Sebab, demokrasi hanya bisa berjalan ketika seseorang mampu menahan pendapatnya dan kemudian menerima pendapat orang lain.

Adapun menurut Harun Nasution, toleransi meliputi lima hal sebagai berikut :  Pertama, Mencoba melihat kebenaran yang ada di luar agama lain. Ini berarti, kebenaran dalam hal keyakinan ada di dalam agama-agama. Hal ini justru akan membawa umat beragama ke dalam jurang relativisme kebenaran. Sebab, kepercayaan bahwa kebenaran tidak hanya ada dalam satu agama berarti merelatifkan keberadaan Tuhan yang absolut. Argumen seperti ini sebenarnya tidak baru. Hal yang sama telah lama digagas juga oleh John Hick dalam bukunya A Christian Theology of Religions: The Rainbow of Faiths. Kedua, Memperkecil perbedaan yang ada di antara agama-agama. Ketiga, Menonjolkan persamaan yang ada dalam agama-agama.

Bagi penulis, poin kedua dan ketiga ini bermasalah. Dengan adanya perbedaan inilah yang justru akan membedakan antara satu keyakinan dan keyakinan lainnya. Teori evolusi Darwin misalnya, ia yakin bahwa manusia berasal dari monyet setelah melihat banyaknya persamaan antara manusia dan kera. Akan tetapi, Darwin lupa bahwa manusia juga memiliki perbedaan mendasar yang tidak dimiliki monyet. Manusia memiliki akal sedangkan monyet tidak. Inilah yang meruntuhkan teori evolusi. Jika kera dan manusia saja bisa dibedakan, bagaimana dengan agama?.

Keempat, Memupuk rasa persaudaraan se-Tuhan. Dalam hal ini, Harun Nasution terpengaruh dengan John L. Esposito yang menganggap bahwa yang ada adalah “Islams” bukan Islam saja. Harun juga terjebak dalam teori Schuon tentang The Transenden Unity of God. Ia menganggap bahwa esensi Tuhan dari agama-agama adalah satu. Sedangkan perbedaan keyakinan pada tataran eksoterik adalah merupakan interpretasi manusia terhadap “The One”. Pandangan seperti ini tentu tidak sejalan dengan aqidah Islam. Tuhan umat Islam bukanlah Tuhan “The One/The Real” akan tetapi Allah SWT. Kelima, Menjauhi praktik serang-menyerang antar agama. Tampaknya, ketika berpendapat seperti ini Harun melihat sejarah kelam sekte-sekte agama Kristen. Sebab, dalam sejarah, Islam tidak pernah menyerang agama-agama lain terlebih dulu. Hal ini dapat ditelusuri dalam sejarah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dan Khulafa’ ar-Rasyidin. Di mana agama-agama (Yahudi dan Kristen) mendapatkan perlindungan penuh tanpa pembantaian.

Selain Harun Nasution, Zuhairi Misrawi juga berpendapat dalam bukunya al-Qur’an Kitab Toleransi dengan mengatakan bahwa toleransi harus menjadi bagian terpenting dalam lingkup intraagama dan antaragama. Lebih lanjut, ia berasumsi bahwa toleransi adalah upaya dalam memahami agama-agama lain karena tidak bisa dipungkiri bahwa agama-agama tersebut juga mempunyai ajaran yang sama tentang toleransi, cinta kasih dan kedamaian. Selain itu, Zuhairi memiliki kesimpulan bahwa toleransi adalah mutlak dilakukan oleh siapa saja yang mengaku beriman, berakal dan mempunyai hati nurani. Selanjutnya, paradigma toleransi harus dibumikan dengan melibatkan kalangan agamawan, terutama dalam membangun toleransi antar agama. Inilah yang diinginkan oleh penganut paham pluralisme agama.

Dari paparan di atas dapat kita pahami bahwa istilah toleransi dalam perspektif Barat adalah sikap menahan perasaan tanpa aksi protes apapun, baik dalam hal yang benar maupun salah. Bahkan, ruang lingkup toleransi di Barat pun tidak terbatas. Termasuk toleransi dalam hal berkeyakinan. Ini menunjukkan bahwa penggunaan terminologi toleransi di Barat sarat akan nafas pluralisme agama. Yang mana paham ini berusaha untuk melebur semua keyakinan antar umat beragama. Tidak ada lagi pengakuan yang paling benar sendiri dan yang lain salah. Akhirnya, semua pemeluk agama wajib meyakini bahwa kebenaran ada dalam agama-agama lainnya, sehingga beragama tidak ada bedanya dengan berpakaian yang bisa berganti setiap hari. Inilah pluralisme agama yang berkedok toleransi perspektif Barat.

Dalam The Golier Webster Int. Dictionary of The English Language dijelaskan bahwa konsep “pluralisme agama” dapat dipahami dalam dua makna, pertama, adanya pengakuan terhadap kualitas majemuk atau toleransi terhadap kemajemukan. Artinya, toleransi yang dimaksud adalah di mana masing-masing agama, ras, suku dan kepercayaan berpegang pada prinsip masing-masing dan menghormati prinsip dan kepercayaan orang lain. Kedua, pluralisme agama berupa doktrin, yakni: a). pengakuan terhadap kemajemukan prinsip tertinggi, b) dalam masalah kebenaran, tidak ada jalan untuk mengatakan hanya ada satu kebenaran tunggal tentang suatu masalah, c) berisi ancaman bahwa tidak ada pendapat yang benar, atau semua pendapat itu sama benarnya, d) teori yang sejalan dengan relativisme dan sikap curiga terhadap kebenaran (truth), e) dan terakhir, pandangan bahwa di sana tidak ada pendapat yang benar atau semua pendapat adalah sama benarnya (no view is true, or that all view are equally true).

Dari pengertian di atas, dapat diketahui bahwa pluralisme agama sebenarnya ingin mengajarkan kebenaran itu tidak ada. Sebab semua kebenaran adalah relative. Dengan dalih toleransi inilah paham pluralisme ingin menghilangkan konsep kebenaran agama-agama. Tentu paham ini sangat berbahaya bagi Islam. Sebab, ketika kebenaran dalam Islam adalah relative, maka konsep keTuhanan Allah SWT (tauhid) pun tidak lagi absolute. Untuk itu, dalam bab selanjutnya penulis ingin menelurusi konsep toleransi dalam Islam dengan tujuan untuk menggali kembali nilai-nilai yang sempat dikaburkan oleh peradaban Barat, khususnya dalam hal toleransi beragama.

Konsep Tasamuh Dalam Islam : Menjawab Doktrin Pluralisme agama

Kata toleransi sangat sulit untuk mendapatkan padanan katanya secara tepat dalam bahasa Arab yang menunjukkan arti toleransi dalam bahasa Inggris. Akan tetapi, kalangan Islam mulai membincangkan topik ini dengan istilah tasamuh. Dalam bahasa Arab, kata “tasamuh” adalah derivasi dari “samh” yang berarti “juud wa karam wa tasahul” dan bukan “to endure without protest” (menahan perasaan tanpa protes) yang merupakan arti asli kata-kata “tolerance”.

Dalam Islam, toleransi berlaku bagi semua orang, baik itu sesama umat muslim maupun non-muslim. Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya Ghair al-Muslimin fii al-Mujtama’ Al-Islami menyebutkan ada empat faktor utama yang meyebabkan toleransi yang unik selalu mendominasi perilaku umat Islam terhadap non-muslim, yaitu :

  1. Keyakinan terhadap kemuliaan manusia, apapun agamanya, kebangsaannya dan kerukunannya.
  2. Perbedaan bahwa manusia dalam agama dan keyakinan merupakan realitas yang dikehendaki Allah SWT yang telah memberi mereka kebebasan untuk memilih iman dan kufur.
  3. Seorang muslim tidak dituntut untuk mengadili kekafiran seseorang atau menghakimi sesatnya orang lain. Allah sajalah yang akan menghakiminya nanti.
  4. Keyakinan bahwa Allah SWT memerintahkan untuk berbuat adil dan mengajak kepada budi pekerti mulia meskipun kepada orang musyrik. Allah juga mencela perbuatan dzalim meskipun terhadap kafir.

Secara doktrinal, toleransi sepenuhnya diharuskan oleh Islam. Islam secara definisi adalah agama yang damai, selamat dan menyerahkan diri. Definisi Islam yang demikian seringkali dirumuskan dengan istilah “Islam agama rahmatan lil ‘aalamin” (agama yang mengayomi seluruh alam). Artinya, Islam selalu menawarkan dialog dan toleransi dalam bentuk saling menghormati bukan memaksa. Islam menyadari bahwa keragaman umat manusia dalam beragama adalah kehendak Allah.

Pada hakekatnya, pesan dari ayat ini adalah seruan Allah SWT kepada umat manusia (Yahudi, Kristen) untuk kembali beriman kepada Allah SWT yang pada awalnya tidak ada pertentangan. Ayat ini mengajak untuk sama-sama menjunjung tinggi tauhid, yaitu sikap tidak menyekutukan Allah SWT dengan selain-Nya. Jadi, ayat ini dengan jelas memberikan suatu konsep toleransi antar umat beragama.

Adapun salah satu bentuk toleransi dalam Islam adalah menghormati keyakinan orang lain. Islam menghormati umat Yahudi yang beribadah di hari Sabtu dan sama halnya kepada umat Kristen yang beribadah ke gereja pada hari Minggu. Toleransi dalam Islam pun telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari bahwa suatu ketika ada jenazah orang Yahudi melintas di tepi nabi Muhammad SAW dan para sahabat, seketika itu pula Nabi Muhammad SAW berhenti dan berdiri. Kemudian salah satu sahabat berkata : Kenapa engkau berhenti Ya Rasulullah?, sedangkan itu adalah jenazah orang Yahudi. Nabi pun berkata : Bukankah dia juga manusia?.

Hadits ini menunjukkan bahwa toleransi dalam perspektif Islam berlaku kepada semua manusia tanpa terkecuali, termasuk kepada orang yang beda agama. Namun, yang perlu ditekankan lagi ialah bentuk kemudahan dalam bermualamah bukan pemaksaan dalam hal keyakinan. Prinsip ini tercermin dalam sejarah, ketika itu nabi Muhammad SAW mengutus Mu’adz dan Abu Musa untuk pergi ke Yaman. Salah satu nasehat Nabi kepada mereka berdua ialah “mudahkanlah dan jangan kalian mempersulit”.

Untuk memahami konsep tasamuh lebih mendalam, tentu kita tidak dapat lepas dari conceptual network yang ada dalam ayat-ayat al-Qur’an. Sebab, konsep tasamuh tidak akan mudah dipahami tanpa dikaitkan dengan konsep-konsep dasar yang membentuk pandangan umum tentang konsep tasamuh melalui analisa semantik. Berikut ini penulis akan mencoba menelusuri konsep-konsep yang berkaitan dengan konsep tasamuh dalam al-Qur’an.

Al-Rahmah

Salah satu konsep yang berkaitan erat dengan konsep tasamuh adalah konsep “al-Rahmah”. Konsep al-Rahmah tentu bukan hal yang asing bagi umat muslim. Kata al-Rahmah adalah bentuk derivasi dari kata “rahima”, yang berarti pengasih. Kata ini merupakan salah satu sifat Allah SWT yaitu ar-Rahman dan ar-Rahim. Pesan untuk berkasih sayang (Rahmah) dalam Islam dapat kita telusuri melalui sabda Rasulullah SAW:

ارحموا من في الأرض يرحمكم من في السماء

“Berbuatlah kasih sayang kepada siapa pun yang ada di bumi, maka kalian akan dikasihi dzat yang di langit (Allah SWT)”

Selain itu, Allah SWT juga telah menggambarkan dalam al-Qur’an surat al-Balad : 17, bahwa sifat Rahmah merupakan cara yang baik dalam berdakwah selain dari pada sifat sabar. Sikap berkasih sayang bukan berarti harus menerima konsep pluralisme agama sebagaimana yang didoktrinkan oleh orang Barat.

Konsep Rahmah (kasih) berlawanan dengan konsep kekerasan (Engineer 1994, 106). Dalam menghubungkan Islam dengan kekerasan, Abdul Ghaffar Khan mengidentifikasi ‘amal, yaqin, dan mahabbah (amalan, keyakinan dan cinta) sebagai nilai atau prinsip utama Islam yang berlawanan dengan penilaian stereotipikal terhadap Islam sebagai agama kekerasan. Dalam al-Qur’an terdapat sekian banyak ayat yang memerintahkan orang-orang beriman agar adil dan tidak melampaui hawa nafsu dalam perlakuan mereka terhadap sesamanya. Cinta, kebaikan hati, kasih sayang, pengampunan dan kemurahan hati diajarkan dalam Islam supaya umat Islam benar-benar beriman.

Dalam al-Qur’an, kata al-Rahmah seringkali disandingkan dengan kata al-Rahim (sayang). Kedua konsep ini pun seringkali diartikan dengan satu makna yaitu “kasih sayang”. Dari segi kata dasar, kedua konsep tersebut memang memiliki sumber sayang sama yaitu rahima. Kata al-Rahmah terdapat kurang lebih dalam 113 surat. Sedangkan kata rahima, dalam bentuk kata dasar dan derivasinya telah disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 315 kali. Adapun jumlah konsep-konsep lainnya lebih sedikit apabila dibandingkan dengan konsep al-Rahmah. Misalnya, konsep al-Sidq (kejujuran), disebutkan sebanyak 145 kali, sifat al-Sabr (kesabaran) sebanyak 90 kali, al-Afw (maaf) sebanyak 43 kali, al-Karam (kemuliaan), sebanyak 42 kali, dan konsep al-Amanah (amanah) sebanyak 40 kali. Lihat bagan berikut ini :

Jumlah Penggunaan terminologi ar-Rahmah dalam al-Qur’an

Selain itu, konsep al-Rahmah seringkali diucapkan dalam do’a para nabi terdahulu. Misalnya, Nabi Adam as., nabi Nuh as., nabi Musa as. dan lain sebagainya. Ini menunjukkan bahwa tujuan Allah SWT mengutus rasul-rasul_Nya adalah untuk menjadi rahmat serta mensyi’arkan agama yang penuh dengan kasih sayang yaitu agama Islam. Kasih sayang Islam bukan hanya berlaku bagi umat muslim saja. Lebih dari itu, kasih sayang yang ada dalam Islam –seperti yang telah dipraktekkan oleh nabi Muhammad SAW- berlaku bagi seluruh alam semesta, termasuk umat kafir sekalipun.

Al-Salam

Selain konsep Rahmah, konsep lainnya yang terkait dengan konsep tasamuh adalah konsep al-Salam (keselamatan). Hal ini tercermin dari banyak hal. Salah satunya adalah diturunkannya agama Islam bertujuan untuk menunjukkan umat manusia jalan kebenaran dan keselamatan. Konsep keselamatan (al-Salam) ini bisa kita temukan dalam al-Qur’an surat al-Furqan ayat 63:

Konsep al-Salam telah menjadi syiar mendasar bagi agama Islam. Artinya Islam adalah agama yang memberikan keselamatan dan rasa aman bagi pemeluknya bahkan kepada non-muslim. Persaudaraan antara umat muslim pun telah diatur oleh Allah SWT sehingga umat manusia tidak bisa merubah syariat yang telah ditetapkan, meskipun itu baik untuk dirinya saja. Sebab, pada hakekatnya, Allah SWT lebih tahu mana yang lebih baik untuk hamba_Nya. Karena keselamatan (al-Salam) adalah tujuan mendasar dalam agama Islam, maka Allah SWT memerintahkan umat_Nya untuk berIslam secara sempurna.

Konsep al-Salam (keselamatan) berlaku untuk semua makhluk. Kepada orang kafir (dalam hal muamalah/peperangan), Islam lebih mengutamakan keselamatan dari pada memeranginya. Untuk itulah, pada masa peperangan, Rasulullah SAW selalu menawarkan keselamatan (berIslam). Al-Salam (sebagai konsep) dapat kita temukan dalam berbagai ayat dalam al-Qur’an, baik dalam konteks peperangan atau pun berdiri sendiri. Konsep al-Salam (dalam segala bentuk derivasinya) telah disebutkan sebanyak 140 kali. Jumlah yang banyak tersebut tentu tidak sebanding dengan konsep al-Harb (perang) –dalam segala bentuk derivasinya- yang disebutkan hanya sebanyak 6 kali saja. Lihat bagan berikut ini:

Penggunaan termonologi al-Harb dan al-Salam dalam al-Qur’an

Ini menunjukkan bahwa agama Islam bukanlah agama yang suka perang. Islam lebih mengutamakan keselamatan (kepada semua umatnya, termasuk kafir). Atas dasar itulah, Islam selalu memberikan pilihan terbaik untuk umatnya melalui al-Qur’an. Akan tetapi, umat manusialah yang menentukan sesuatu bagi dirinya sendiri. Meskipun itu tidak baik dalam pandangan Allah SWT, manusia selalu yakin akan pilihannya tersebut. Maka, tidak jarang orang tersesat karena memilih tanpa ilmu pengetahuan. Jadi, sangat rasional apabila orang kafir itu dalam keadaan sesat karena ia memilih sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang telah disyariatkan Allah SWT melalui al-Qur’an dan nabi Muhammad SAW melalui al-Hadits.

Al-Adl

Konsep lain yang berhubungan dengan konsep tasamuh dalam al-Qur’an ialah konsep al-Adl (keadilan). Konsep ini dapat kita temukan dalam QS. al-Nahl ayat 90 yang artinya :

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (Q.S. al-Nahl : 90)

Dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan umat_Nya untuk berbuat tiga hal. Pertama, adil. Artinya, umat Islam harus berbuat adil dalam berbagai hal. Termasuk dalam memberikan hak-hak orang lain. Serta memberikan hak-hak orang yang berhak menerimanya sesuai takaran masing-masing. Kedua, al-ihsan/kebaikan, yaitu melakukan kebaikan kepada semua orang tanpa memandang status dan derajat kemanusiaannya. Termasuk kepada orang yang berbeda keyakinan. Ketiga, menjalin silaturrahim, artinya dalam hal bermasyarakat, Islam tidak membatasi pergaulan hanya kepada sesama muslim. Akan tetapi, bersosial dengan non-muslim juga dianjurkan.

Selain kata al-Adl -dalam al-Qur’an-, konsep keadilan seringkali dibahasakan dengan al-Qisth, yang memiliki satu arti. Konsep al-Adl telah disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 24 kali. Artinya, keadilan memiliki peran yang penting dalam hal bermuamalah dalam pandangan Islam. Khususnya dalam hal hukum, konsep keadilan sangatlah dibutuhkan. Sebab, dengan keadilan inilah suatu perkara akan diputuskan dan ini merupakan satu upaya untuk mencari maslahat. Karena bertujuan untuk mencari maslahat, maka keadilan harus berhubungan dengan kebaikan (al-Ihsan).

Selain itu, keadilan juga berhubungan dengan konsep al-Amanah (amanah). Artinya, konsep keadilan dalam Islam tidak dapat diartikan dengan keadilan dalam arti seimbang saja. Tetapi, keadilan dalam Islam harus mengandung nilai-nilai kebaikan dan amanah. Amanah dalam hal ini adalah syariat yang diajarkan oleh Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW. Jadi, ketika seorang muslim melakukan hal yang adil, ia tidak boleh lepas dengan ukuran-ukuran kebaikan yang telah ada dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.

Shalahuddin al-Munajjad dalam al-Mujtama’ al-Islamy fii al-‘Adalah menyimpulkan bahwa agama Islam adalah agama yang adil. Sedangkan orang yang berIslam berarti ia telah menyerahkan dirinya untuk suatu keadilan dan kebenaran. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa keadilan merupakan salah satu landasan terpenting dalam berIslam. Sebab, inilah yang membedakan antara agama Islam dengan yang lainnya. Keadilan dalam agama Islam menjadi dasar dari tegaknya syariat Islam. Konsep keadilan pun hendaknya menjadi pondasi dalam upaya membentuk masyarakat yang Islami. Baik adil kepada diri sendiri, keluarga, antar manusia atau pun adil kepada Allah SWT.

Al-Tauhid

Dan konsep yang paling tinggi yang berhubungan dengan konsep tasamuh ialah konsep Al-Tauhid. Konsep inilah yang membedakan makna toleransi antara Islam dengan yang lainnya. sebagaimana yang dikatakan oleh Ismail Raji al-Faruqi bahwa tauhid adalah pengakuan bahwa Allah SWT adalah Tuhan semesta alam. Ini berarti bahwa Allah SWT adalah sumber hakiki semua kebaikan, semua nilai. Apa yang kita ketahui dengan indra adalah benar sifatnya. Kecuali jika indra kita jelas cacat atau sakit, apa yang tampak sesuai dengan akal sehat adalah benar kecuali jika terbukti sebaliknya. Tauhid menggariskan optimisme dalam bidang epistemologi dan etika. Inilah yang disebut dengan toleransi sebenarnya.

Tauhid adalah kesatuan Tuhan dalam teologi muslim. Tauhid merupakan pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia, ruang dan waktu, sejarah manusia dan takdir. Sudah dapat dipastikan bahwa esensi peradaban Islam adalah Islam itu sendiri dan esensi Islam adalah tauhid atau pengesahan Tuhan. Sebagai prinsip metodologi dalam esensi tauhid, toleransi adalah keyakinan bahwa Tuhan tidak meninggalkan suatu bangsa tanpa mengirimkan pada mereka seorang utusan dari kalangan mereka sendiri untuk mengajarkan kepada mereka bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah SWT dan bahwa mereka wajib menyembah dan mengabdi kepada_Nya. Untuk memperingatkan mereka terhadap kejahatan dan penyebab-penyebabnya. Dalam hal ini, toleransi adalah kepastian bahwa semua manusia telah dikaruniai dengan suatu “sensus communis” (naluri keberagamaan) yang memungkinkan mereka untuk mengetahui agama yang benar, untuk mengenali kehendak Tuhan dan perintah_Nya.

Ismail Raji al-Faruqi menegaskan bahwa konsep tauhid adalah landasan metodologi dalam Islam. Sebagai prinsip metodologi, tauhid terdiri dari tiga prinsip. Pertama, penolakan terhadap segala sesuatu yang tidak berkaitan dengan realitas. Artinya, prinsip ini membuka segala sesuatu dalam agama untuk diselidiki dan dikritik. Namun, apabila hasil penyelidikan itu menyimpang dari realitas, maka penyimpangan itu cukup untuk membatalkan kritikan tersebut. Kedua, penolakan kontradiksi-kontradiksi hakiki. Prinsip ini merupakan esensi dari prinsip pertama. Kontradiksi (pertentangan) antara wahyu dan akal misalnya, jika hal ini terjadi maka Islam tidak membiarkannya begitu saja.

Tapi, Islam telah memberikan petunjuk dengan al-Qur’an untuk menyelesaikan pertentangan tersebut. Ketiga, keterbukaan bagi bukti yang baru dan/atau yang bertentangan. Prinsip ini bermaksud untuk menjadikan tauhid sebagai kesatuan kebenaran yaitu keterbukaan terhadap bukti baru dan/atau yang bertentangan untuk melindungi umat Islam. Konsep tauhid ini jelas menjadi pembeda antara pluralisme agama dan konsep toleransi dalam Islam.

Kesimpulan

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep toleransi dalam perspektif Barat dan Islam memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Toleransi menurut Barat adalah menerima pendapat orang lain tanpa rasa protes apapun, meskipun itu dalam hal kebenaran atau bahkan dalam kesalahan sekalipun. Adapun ukuran dari toleransi di Barat adalah terwujudnya pluralisme agama. Ketika keyakinan (kebenaran) semua agama diyakini adanya, maka itulah konsep toleransi sebenarnya dalam pandangan Barat. Berbeda dengan pandangan Islam. Islam memiliki konsep tersendiri dalam hal toleransi. Lebih tepatnya, Islam tidak menggunakan terminologi “toleransi” secara khusus tapi “tasamuh”.

Konsep tasamuh pun sangat terikat dengan konsep-konsep dasar lainnya dalam al-Qur’an. Ketika berbicara tasamuh, maka kita tidak dapat lepas dari konsep al-Rahmah, al-Adl/al-Qisth, al-Ihsan, al-Amanah, al-Salam dan al-Tauhid. Semua terminologi ini adalah konsep dasar yang mengikat konsep tasamuh tersebut. Jadi, apabila Barat ingin melebur semua kebenaran dalam agama-agama melalui konsep toleransinya (pluralisme agama) maka Islam justru menguatkan konsep Tasamuh tersebut dengan mengikatnya dengan al-Tauhid. Dengan kata lain, ketika umat Islam bertasamuh hendaknya membuat dia lebih meyakini bahwa Allah SWT sajalah Tuhan Yang Maha Benar bukan Tuhan yang lain. Hal ini terlihat remeh tapi justru inilah yang membedakan antara Barat dan Islam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *