Fuad : Dimensi Hati Untuk Memahami Hakekat Ilmu Pengetahuan

Hakekat hati untuk memaham ilmu pengetahuan

Dalam kamus Lisan al-Arab istilah al-fuad memiliki akar kata fa-a-da yang diartikan sebagai padanan kata dari al-qalb. Dalam al-Qur’an istilah tersebut telah membentuk paling tidak dua macam derivasi yaitu al-fuad dan al-af’idah. Dalam bentuk mufrad (single) disebutkan kurang lebih 5 kali. Sedangkan dalam bentuk jama’ (plural) disebutkan sebanyak 11 kali. Dan semua derivasi tersebut menunjuk makna yang satu yaitu hati.

Menurut Hakim Tirmidzi, dimensi al-fuad adalah tempat diprosesnya ilmu pengetahuan (al-Ilm dan al-Ma’rifah). Lebih tepatnya, fungsi al-fuad yaitu sebagai penglihatan (ar-ru’ya) sehingga seringkali hati juga disebut memiliki mata yaitu mata hati. Dimensi al-fuad inilah yang mampu melihat hakekat ilmu pengetahuan kemudian dimensi al-qalb yang mengetahui hasil ilmu tersebut.

Dan apabila kedua fungsi tersebut (ar-ru’ya dan al-‘ilm) digunakan secara bersamaan maka sesuatu yang bersifat metafisik bisa menjadi terlihat oleh mata hati manusia. Hal tersebut senada dengan apa yang disampaikan oleh Abu Ja’far Muhammad bin Ali bahwa yang mampu melihat Allah SWT bukanlah penglihatan dengan mata fisik yang terdapat di kepala, akan tetapi keberadaan Allah SWT mampu dilihat dengan hati (al-fuad) melalui pengetahuan tentang hakekat iman kepada-Nya.

Baca Juga:

  1. Qalb Sebagai Dimensi Hati Yang selalu Berbolak-balik
  2. Shadr : Dimensi Hati Sebagai Pintu Kekafiran dan Keislaman
  3. Lubb: Dimensi Hati Sebagai Sumber Kebenaran Ilahi

Dalam beberapa ayat al-Qur’an konsep al-Qalb dan al-fuad seringkali disandingkan dengan konsep bashar atau ra’a sebagaimana fungsi mata (al-‘ain). Ini menunjukkan bahwa fungsi hati ialah untuk melihat hakekat yang terdapat di balik ilmu-ilmu Allah SWT.

Sehingga orang yang berpikir atau orang yang menggunakan penglihatan hatinya dengan benar disebut dalam al-Qur’an dengan Ulil Abshar. Penjelasan tersebut dapat ditelaah melalui Q.S. An-Nuur : 44

يُقَلِّبُ اللَّهُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَعِبْرَةً لأولِي الأبْصَارِ

Allah mempergantikan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran yang besar bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan. (Q.S.An-Nuur : 44)

dan juga dalam Q.S. Al-Hasyr : 2

فَأَتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ حَيْثُ لَمْ يَحْتَسِبُوا وَقَذَفَ فِي قُلُوبِهِمُ الرُّعْبَ يُخْرِبُونَ بُيُوتَهُمْ بِأَيْدِيهِمْ وَأَيْدِي الْمُؤْمِنِينَ فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأبْصَارِ

Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka, dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan. (Q.S. Al-Hasyr : 2)

Kedua ayat di atas menunjukkan bahwa orang-orang yang berpikir dengan hatinya adalah orang yang memikirkan tanda-tanda kebesaran Allah dengan penuh keimanan serta mampu mengambil pelajaran dari ilmu Allah tersebut. Istilah Ulil Abshar tersebut memiliki makna yang sama dengan Ulil Albab.

Adapun perbedaan antara al-Qalb dan al-fuad terletak pada fungsi antara keduanya. Al-Qalb merupakan tempat bersemayamnya keberIslaman seseorang. Artinya, ketika seseorang menggunakan hatinya (al-Qalb) dalam bermuamalah maka ia menerapkan syariat yang ada dalam Islam.

Maksudnya ialah al-Qalb lebih mengarah pada aktifitas keberIslaman seperti bagaimana shalat, bagaimana berpuasa, bagaimana beraktifitas lainnya. Dalam dimensi al-Qalb ini masih tersimpan cahaya keburukan. Meskipun tidak sebesar dalam dimensi as-Shadr.

Hal ini berbeda dengan fungsi dimensi al-fuad yang lebih cenderung pada keberimanan. Artinya, dimensi al-fuad adalah tempat bersemayamnya keimanan seseorang yang tidak ada celah sedikit pun untuk suatu keburukan. Dan ketika dimensi ini tidak berfungsi atau tertutup maka seseorang tidak memiliki cahaya keimanan lagi. Dengan kata lain ia akan menjadi sesat, musyrik bahkan kafir.

Begitu pula sebaliknya, ketika seseorang menggunakan atau memperhatikan fungsi dimensi al-fuad maka ia akan mengetahui hakekat dibalik keimanannya kepada Allah SWT. Mungkin inilah yang menjadi alasan kenapa yang akan ditanya oleh malaikat pertama kali dalam alam kubur ialah tentang iman kemudian amal (Islam).

Dengan bahasa lain, Islam adalah ilmu dan amal sedangkan iman adalah ilmu pengetahuan dan kesesuaian hati. Karena pada dasarnya hati (al-fuad) tidak mampu berbohong sedikit pun. Hal tersebut sebagaimana termaktub dalam Q.S. Al-Najm : 11 bahwa al-fuad merupakan sumber kebenaran yang tidak terdapat kebohongan sedikit pun di dalamnya.

مَا كَذَبَ الْفُؤَادُ مَا رَأَى

Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. (Q.S. An-Najm : 11)

Dalam ayat tersebut, istilah yang digunakan ialah ra’a (melihat). Jadi fungsi al-fuad ialah melihat apa yang terdapat di balik suatu kejadian. Ini berbeda dengan istilah yang disandingkan dengan al-Qalb yang lebih condong kepada al-ilm atau al-ma’rifah.

Dengan demikian dapat diambil benang merah bahwa fungsi al-fuad ialah melihat hakekat dari tanda-tanda penciptaan Allah kemudian dari penglihatan tersebut al-fuad mengambil manfaat darinya. Jadi antara dimensi al-fuad dan al-qalb saling bersinergi dalam upaya mengetahui dan memikirkan ayat-ayat Allah SWT.

Terminologi al-fuad memiliki derivasi kata al-faidah yang berarti mengandung manfaat. Artinya, al-fuad adalah dimensi hati yang mampu mengambil faedah, pelajaran, manfaat dari penglihatannya sehingga al-qalb mampu merasakan kebaikan suatu ilmu pengetahuan.

Dan ketika al-fuad tidak mampu melihat atau mengetahui maka al-qalb pun tidak dapat merasakan manfaat suatu ilmu pengetahuan. Hal tersebut senada dengan argumen Ar-Raghib Al-Ashfahany dalam al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an bahwa al-fuad merupakan dimensi hati yang mampu mengambil faedah dari suatu kejadian.

Selain itu hati (fuad) juga memiliki sifat yang sama dengan al-qalb yaitu berbolak-balik. Sebagaimana tersurat dalam Q.S. Al-An’aam : 110

وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ

Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (AlQuran) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat. (Q.S. Al-An’aam : 110)

Dalam ayat tersebut kata kerja yang digunakan untuk menunjukkan sifat hati yang berpaling adalah nuqallib. Kata kerja tersebut memiliki akar kata yang sama dengan qalb yaitu qa-la-ba yang artinya berbalik dan berpaling.

Makna ayat tersebut sebenarnya bentuk jawaban dari ayat sebelumnya yaitu Al-An’aam : 109. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa orang-orang musyrik pernah berjanji apabila turun suatu mukjizat maka mereka akan beriman kepada Allah SWT.

Akan tetapi sejak awal orang musyrik tidak pernah beriman dan janji mereka seperti fatamorgana belaka. At-Thabari menjelaskan bahwa yang berhak memalingkan hati adalah Allah SWT dan bukan keinginan pribadi orang yang telah ingkar, terlebih mereka tidak memiliki iman sebelumnya.

Karena masalah iman, kufur, ingkar menyangkut masalah hati maka dapat disimpulkan bahwa sifat fuad sama dengan qalb yaitu berbolak-balik, dan Allah adalah Dzat yang Maha membolak-balikkan hati.  

Jadi, konsep al-fuad memiliki makna yang lebih mendalam dibandingkan dengan al-qalb, meskipun pada hakekatnya kedua konsep tersebut sangat berdekatan dan memiliki satu makna yaitu hati.

Kedekatan kedua konsep tersebut sama halnya dengan kedekatan konsep ar-rahman dan ar-rahim yang sama-sama memiliki akar makna kasih sayang. Akan tetapi keduanya menunjuk pada makna yang umum dan khusus.

4 Responses

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *