Karakter merupakan fokus utama dalam dunia pendidikan. Pendidikan di Indonesia saat ini sedang menghadapi tantangan yang mengakibatkan kemunduran moral masyarakat. Tantangan tersebut datang dari dalam (internal) dan juga dari luar (eksternal). Tantangan yang datang dari dalam (internal) seperti kurangnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya pendidikan, makna pendidikan, bahkan hakekat dari pendidikan itu sendiri.
Minimnya pemahaman tersebut tentu berdampak negatif terhadap proses pendidikan itu sendiri. Ketika masyarakat tidak memahami arti pentingnya pendidikan maka mereka pun tidak akan tahu akan tujuan pendidikan itu sebenarnya. Permasalahan seperti ini disebut juga dengan problem keilmuan. Untuk itu perlu adanya kesadaran diri terhadap arti penting serta tujuan dari pendidikan.
Namun, kesadaran diri saja belum cukup untuk menjadi orang yang mulia. Sebab, tantangan di dunia pendidikan juga datang dari luar (eksternal). Misalnya banyaknya konsep-konsep, ide-ide dan paham-paham asing yang merubah esensi dari semua konsep dasar Islam. Problem ini merupakan dampak dari minimnya pemahaman umat Islam terhadap konsep-konsep Islam. Sebagai akibatnya, ideologi (paham) yang datang dari pandangan Barat atau Orientalis dianggap sebagai bentuk pembaharuan pemikiran.
Pengertian Pendidikan Karakter
Istilah “Pendidikan Karakter” merupakan kalimat yang terdiri dari dua istilah yang berbeda yaitu Pendidikan dan Karakter. Dua istilah tersebut memiliki makna masing-masing. Dan ketika digabungkan menjadi satu kalimat baru maka kalimat tersebut memiliki makna yang baru pula. Dalam diskursus pendidikan, wacana karakter memang sedang menjadi pembicaraan yang hangat. Sebab, karakter dianggap sebagai solusi untuk memecahkan berbagai macam persoalan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini.
Kata “pendidikan” dalam bahasa Arab berarti Tarbiyah. Menurut Suwaid, istilah Tarbiyah merupakan bentuk derivasi dari kata rabaa-yarbuu yang artinya bertambah dan berkembang, rabaa-yarbii yang berarti tumbuh dan mekar, dan juga rabba-yarubbu atau memperbaiki dan mengurus suatu perkara. Sedangkan menurut Miqdad Yaljan, istilah Tarbiyah berarti bertambah, memberi makan, memelihara, menjaga dan tumbuh. Istilah ini juga memiliki makna lain yaitu berkembang, meninggikan dan menangkat posisi atau derajat seseorang. (Ahmad Taufiq, 2011 : 218).
Ar-Raghib Al-Asfahani mengatakan bahwa kata Tarbiyah yakni menumbuhkan sesuatu dari satu keadaan ke keadaan yang lain hingga mencapai batas kesempurnaan. Menurut Naquib Al-Attas, jika penggunaan kata rabb sama dalam bentuk madhi (past tense), (seperti pada ayat al-Isra 34 : kama rabbayani shaghira) dan mudari’nya (present tense) (seperti pada ayat As-Syuara’ 18 : alam rubabbika fiina waliida), maka ini bermakna pendidikan, tanggung jawab, memberi makan, perkembangan dan pertumbuhan. Oleh sebab itu untuk mengungkapkan arti kata pendidikan ada beberapa kata yang sesuai diantaranya kata Irshad, Tahdhib, Siyasah, dan Ta’dib.
Dalam Mu’zam al-Faazul al-Qur’an al-Karim dikatakan bahwa kata Rabaa-yarbuu dengan makna bertambah atau berkembang (Zaada dan Namaa). Hal ini sebagaimana tertulis dalam QS. ar–Rum (30) : 39, QS. al-Baqarah (2) : 276, QS. al-Hajj (22) : 5, QS. al-Fhusilat (41): 29, QS. ar-Ra’dhu (13): 5, dan QS. an-Nahl (16) : 92. Sedangkan kata Rabaa-Yurbii atas wazan Khafaa-yukhfii yang maknanya mengembangkan dan memelihara (Nasya’a dan ra’aa) memiliki landasan yaitu QS. al-Baqarah (2) : 276. Dan kata Rabba-yarubbu dengan wazan Madda-yamuddu yang bermakna memperbaiki, memelihara, dan mengajar terdapat pada QS. al-Isra (17) : 24 dan QS. as-Syu’ara (26) : 18. (Mu’zam al-Lukhatul al-‘Arabiyah, 1993 : 402).
Dari kata dasar di atas, kata Tarbiyah secara etimologi mempunyai banyak arti diantaranya adalah pendidikan (education), pengembangan (upbringing), pengajaran (teacing), perintah (intruction), pembinaan kepribadian (breeding), memberi makan (raising), mengasuh anak, (Ali al-Jurzani, p.145) dan memimpin (Mahmud Yunus, 2003 : p.71). Sedangkan menurut Naquib al-Attas istilah tarbiyah berarti memelihara, mengarahkan, memberi makan, mengembangkan, menyebabkan tumbuh dewasa, menjaga, menjadikannya berhasil, menjinakkan. (al-Attas, Islam and Secularism, p. 15)
Secara khusus kata tarbiyah (dalam bentuk masdar) tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Namun terdapat beberapa istilah kunci yang memiliki akar kata yang sama dengannya, yaitu al-rabb, rabbayani, nurabbi, yurbi, dan rabbani. Pengertian tarbiyah tersebut didasarkan pada firman Allah SWT, yakni dalam QS. al-Isra’ (17) : 24, yang artinya: “Sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.(QS. Al-Isra’: 24)
Pada ayat di atas terdapat istilah rabbayani yang diambil dari fi’il madhi-nya (rabbayani), maka ia memiliki arti memproduksi, mengasuh, menanggung, memberi makan, menumbuhkan, mengembangkan, memelihara, membesarkan dan menjinakkan. Jadi istilah tarbiyah menunjukkan pengasuhan dan pendidikan orang tua kepada anak-anaknya lebih dominan pada dimensi jasmani jika dibandingkan dengan rohaninya. Makna tarbiyah sebagai “menumbuhkan” (of animals) (Hans Wehr, 1974 : 324) juga terdapat dalam QS. Asy-Syu’ara (26) : 18. Dalam ayat tersebut menunjukkan pengasuhan semata Fir’aun terhadap Nabi Musa sewaktu kecil yang hanya berupa pengasuhan sebatas aspek jasmani, tanpa melibatkan dimensi rohani.
Menurut Fahr al-Razi, istilah tarbiyah yang berakar kata dari rabbayani memiliki makna at-tanmiyah (Fahr al-Razi, Mawafiqu Lil Mathbu, p. 2797) yaitu pertumbuhan dan perkembangan. Sementara Sayyid Quthub mengartikan lafadz rabbayani dengan ra’ya dalam artian memelihara bukan hanya untuk manusia semata melainkan digunakan untuk makhluk lainnya juga. (Fi Zilal al-Qur’an, 1971:318).
Jadi, istilah tarbiyah memiliki arti pendidikan yang masih sangat luas. Oleh sebab itu, Al-Attas mengkritik penggunaan istilah tersebut untuk menggantikan istilah “pendidikan” dalam Islam. Menurutnya, istilah tarbiyah memiliki kesamaan makna dengan istilah konsep Barat yaitu education. (al-Attas, 1999:28).
Selain istilah tarbiyah, ada juga konsep lain yang memiliki arti pendidikan yaitu ta’lim. Menurut Hans Wher, kata ta’lim berarti pemberitahuan tentang sesuatu (information), nasihat (advice), perintah (intruction), pengarahan (direction), pengajaran (teaching), pelatihan (training), pembelajaran (schooling), pendidikan (education), dan pekerjaan sebagai magang, masa belajar suatu keahlian (apprenticeship). (Hans Wehr , p. 267).
Senada dengan hal itu, Mahmud Yunus mengartikan ta’lim sebagai hal yang berkaitan dengan mengajar dan melatih. (Mahmud Yunus, p.136). Sedangkan Muhammad Rasyid Ridha mengartikan ta’lim sebagai proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu. (M. Rasyid Ridha, p.262). Berbeda dengan hal itu, Quraisy Shihab, mengartikan istilah ta’lim dengan berlandaskan kata yu’allimu yang terdapat pada surat al-Jumu’ah (QS. (62) 2, dengan arti mengajar yang intinya mengisi pikiran anak didik dengan pengetahuan yang berkaitan dengan alam metafisika serta fisika. (M. Quraish Shihab, p.172).
Kata ta’lim banyak dijumpai di dalam al-Qur’an dan sunnah. Di antaranya ta’lim digunakan oleh Allah untuk mengajar nama-nama yang ada di alam jagat raya kepada Nabi Adam as. (QS. al-Baqarah (2): 31), mengajar manusia tentang al-Qur’an dan bayan (QS. ar-Rahman (55): 2), mengajarkan al-Kitab, al-Hikmah, Taurat, dan Injil (QS. al-Maidah (5): 110), mengajarkan ta’wil mimpi (QS. Yusuf (12): 101), mengajarkan sesuatu yang belum diketahui manusia (QS. al-Baqarah (2): 239), mengajarkan tentang sihir (QS. al-Kahfi (18): 65), mengajarkan cara membuat baju besi untuk melindungi tubuh dari bahaya (QS. al-Anbiya’ (21): 80), mengajarkan tentang wahyu dari Allah (QS. at-Tahrim (65): 5). (Abuddin Nata, 2010, p.13-16).
Dengan demikian, kata ta’lim dalam al-Qur’an menunjukkan sebuah proses pengajaran, yaitu menyampaikan suatu ilmu pengetahuan, hikmah, kandungan kitab suci, wakyu, sesuatu yang belum diketahui manusia, keterampilan membuat alat pelindung, ilmu laduni (ilmu yang langsung dari Allah), nama-nama atau simbol dan rumus-rumus yang berkaitan dengan alam jagat raya, dan bahkan ilmu terlarang seperti sihir. Ilmu-ilmu baik yang disampaikan melalui proses ta’lim tersebut dilakukan oleh Allah SWT, malaikat, dan para nabi.
Istilah ta’lim lebih sesuai diartikan dengan “pengajaran”. Namun, karena pengajaran merupakan bagian dari bentuk pendidikan maka kedua istilah tersebut (tarbiyah dan ta’lim) memiliki makna yang sama. Keduanya lebih mengutamakan aspek pendidikan berbentuk jasmani daripada rohani. Menuurt Al-Attas kedua kata tersebut belum mewakili makna pendidikan yang sesungguhnya. Untuk itu, al-Attas mengajukan satu terminologi lain yang menunjuk makna pendidikan yaitu ta’dib.
Kata ta’dib berasal dari kata addaba, yuaddibu, ta’diban (ta’dib) yang artinya pendidikan (udecation), disiplin, patuh dan tunduk pada aturan (discipline) peringatan atau hukum (punishment). (Abuddin Nata, 2010, p.47). Ada juga yang memberikan arti ta’dib sebagai beradab, bersopan santun, tata krama, adab, budi pekerti, akhlak, moral, dan etika. (Abdul Mujib, 2006, p.10).
Adapun al-Attas mengartikan kata ta’dib yang seakar dengan adab memiliki arti pendidikan, peradaban, dan kebudayaan sebagai pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat yang tetap dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan kekuatan dan keagungan Tuhan. (Al-Attas, p.32). Melalui ta’dib ini al-Attas ingin menjadikan pendidikan sebagai sarana transformasi nilai-nilai akhlak mulia yang bersumber pada ajaran agama ke dalam diri manusia, serta menjadi dasar terjadinya proses islamisasi ilmu pengetahuan. Islamisasi ilmu pengetahuan ini menurutnya perlu dilakukan dalam rangka membendung pengaruh paham-paham asing seperti materialisme, liberalisme, sekularisme, dan dikotomisme ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh Orientalis Barat.
Istilah ta’dib lebih tepat diartikan sebagai pendidikan. Sebab, istilah tersebut mencakup semua aspek manusiawi. Istilah ini tidak terbatas hanya pada aspek kognitif, tetapi juga meliputi pendidikan spiritual, moral dan sosial. (Wan Mohd Nor Wan Daud, 1998, p.184). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa istilah yang mampu mewakili pendidikan ialah terkandung dalam konsep ta’dib.
Baca Selanjutnya : Memahami Hakekat Pendidikan Karakter (part.2)