Al-Lubb atau Lubb merupakan dimensi hati yang paling inti. Dimensi ini secara struktur berfungsi sebagai unsur yang mampu memahami kebenaran yang datangnya dari Allah. Dalam dimensi inilah keyakinan dan ketauhidan akan keesaan Allah sebagai Tuhan semesta alam itu bersemayam.
Baca Juga:
- Shadr : Dimensi Hati Sebagai Pintu Kekafiran Dan Keislaman
- Qalb Sebagai Dimensi Hati Yang Selalu Berbolak-Balik
- Fuad : Dimensi Hati Untuk Memahami Hakekat Ilmu Pengetahuan
Manusia menggunakan dimensi lubb untuk mengetahui hakekat segala hal yang menjadi ilmu Allah. Di dalamnya tidak terdapat keraguan sedikit pun. Mungkin inilah yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan hati nurani. Sebab, Allah memberikan cahaya kekuasaanNya dalam dimensi lubb tersebut. Dan Allah adalah pengatur dari ketetapan atau isi dasar agama yang ada dalam dimensi ini.
Karena lubb adalah tempat bagi keyakinan akan tauhid, maka dimensi ini hanya dimiliki bagi orang-orang yang beriman kepada Allah SWT dengan sepenuhnya keimanan. Adapun orang yang berpikir dan tidak mengimani Allah berarti ia tidak berpikir hingga dimensi lubb tersebut.
Sebab pada dasarnya, antara aktifitas berpikir dengan beriman seharusnya sejalan dan tidak dapat dipisahkan. Berpikir harus mengarah pada keimanan kepada Allah dan beriman pun membutuhkan pemikiran yang murni hingga ke hati. Untuk itulah Allah menyebut orang-orang yang berakal dengan terminologi “Ulu-l-Albab” yang artinya manusia yang menggunakan akalnya.
Dalam al-Qur’an istilah Ulu-l-Albab seringkali terkait dengan konsep taqwa, hidayah, hikmah dan kebaikan (khair), berpikir (tadzakkur). Artinya, lubb memiliki kemampuan untuk memahami hakikat di balik ilmu-ilmu Allah dan mampu untuk memilah yang baik-baik sebagai wujud ketakwaan kepada Allah SWT.
Menurut Hakim Tirmidzi, beliau mengutip pendapat ahli sastra Arab, bahwa dimensi lubb adalah akal (al-‘aql) atau kemampuan berpikir yang merupakan kerja hati. Karena dimensi lubb adalah inti maka sangat wajar apabila ar-Raghib menyimpulkan bahwa semua lubb adalah ‘aql, dan tidak semua ‘aql adalah lubb. Akan tetapi antara keduanya berbeda, seperti berbedanya sinar matahari dengan sinar lampu.
Lebih lanjut, Tirmidzi menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Ulu-l-Albab ialah orang-orang yang mengetahui Allah SWT (al-‘ulama bi-Allahi). Hanya saja, tidak semua orang yang berakal (‘aqil) bisa disebut mengetahui Allah (‘alim), sedangkan setiap orang yang mengetahui Allah adalah orang yang berakal (‘aqil). Hal tersebut sebagaimana dijelaskan Allah SWT dalam Q.S. Al-Ankabut : 43.
وَتِلۡكَ ٱلۡأَمۡثَٰلُ نَضۡرِبُهَا لِلنَّاسِۖ وَمَا يَعۡقِلُهَآ إِلَّا ٱلۡعَٰلِمُونَ ٤٣
Artinya:
Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu. (Q.S. Al-Ankabut : 43)
Dengan demikian, antara akal, hati, ilmu, dan iman adalah medan konsep yang saling terkait. Selain al-‘aql, Allah juga menggunakan istilah an-Nuha untuk menunjuk akal. Disamping itu, orang yang menggunakan akalnya juga seringkali disebut dengan istilah yatatafaqquhun.
Terminologi Tafaqquh lebih dekat dengan makna berpikir atau upaya menggunakan akalnya. Adapun orang yang tidak menggunakan akalnya untuk berpikir secara benar dala al-Qur’an disebut dengan orang yang munafik.
Lubb merupakan akal yang murni, suci, dan bersih dari segala macam kotoran hati. Lubb adalah dimensi hati yang paling inti, dengan lubb inilah manusia memahami hakekat segala sesuatu. Untuk itu, Allah SWT menggunakan istilah Ulu-l-Albab untuk menunjuk hamba-Nya yang mampu menggunakan akalnya untuk memahami esensi dari segala kejadian.
Oleh karena itu Ulu-l-Albab merupakan kriteria manusia yang diberikan kemampuan untuk mengambil hikmah oleh Allah SWT, sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. Al-Baqarah : 269.
يُؤۡتِي ٱلۡحِكۡمَةَ مَن يَشَآءُۚ وَمَن يُؤۡتَ ٱلۡحِكۡمَةَ فَقَدۡ أُوتِيَ خَيۡرٗا كَثِيرٗاۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ ٢٦٩
Artinya:
Allah menganugerahkan al-hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah). (Q.S. Al-Baqarah : 269)
Hakim Tirmidhi menjelaskan bahwa tempat al-Islam adalah shadr (pusat hati), tempat al-Iman adalah al-Qalb (hati), tempat al-Ma’rifah ialah dalam al-fuad (nurani), sedangkan al-Tauhid terletak pada al-Lubb (akal pikiran). Adapun konsep Islam (al-Islam) yang terletak pada sadr memiliki potensi diantaranya, keraguan (as-shakk), kesyirikan (as-shirk), kemunafikan (an-nifaq), dan lain sejenisnya. Sehingga dalam sadr inilah terletak an-nafs al-ammarah bi as-su’.
Sedangkan konsep iman (al-Iman) yang terletak pada hati (al-qalb) berpotensi untuk condong kepada ketakwaan (al-taqwa) dan kadangkala fujur (ketidaksesuaian). Dalam hati (al-qalb) inilah tempat an-nafs al-malhamah. Selain itu, konsep al-ma’rifah terletak dalam al-fuad. Al-fuad memiliki potensi untuk memahami karamah Allah, tawaddhu’, ketenangan, senang dengan nikmat Allah, dan dalam fu’ad inilah terletak an-nafs al-lawwamah.
Dan yang terakhir ialah konsep tauhid yang terletak pada lubb. Dalam lubb sendiri memiliki potensi untuk cenderung mentauhidkan Allah SWT sebagai Tuhan, keridhaan menghambakan diri, malu berbuat keburukan, dan kecenderungan untuk selalu memikirkan ilmu (al-‘ilm) Allah SWT. Dalam lubb inilah terletak an-nafs al-mutmainnah.
Jadi, dalam konsep berpikir dengan hati, manusia tidak bisa memisahkan semua dimensi hati. Dan dimensi hati yang paling dalam ialah lubb sebagai sumber ketauhidan dan ilmu Allah SWT. Artinya, manusia yang berpikir akan ilmu Allah seharusnya mampu mengarahkan kepada penghambaan (‘ubudiyyah) yang total.
Bukan hanya semata mengarahkan kepada keberIslaman atau keberimanan semata. Lebih mendasar daripada itu, aktifitas berpikir hendaknya mampu memahamkan seseorang kepada makna pentauhidan Allah SWT melalui petunjuk-Nya (al-huda).
6 Responses