Kata “ilmu” berasal dari bahasa Arab yaitu al-‘Ilm yang artinya mengetahui hakekat sesuatu atau mengetahui dzat sesuatu. Ilmu merupakan salah satu bentuk turunan sifat Allah SWT (al-‘Aliim, al-‘Aalim, al-‘Allam). Kata ‘ilm sendiri merupakan bentuk derivasi dari kata ‘Alima-ya’lamu. Selain itu, kata dasar tersebut juga memiliki berbagai macam bentuk turunan lainnya. Di antaranya yaitu al-‘aalim (orang yang mengetahui), al-‘aliim (Yang Maha Mengetahui), al-‘ulama, al-‘Ilm (ilmu pengetahuan), al-‘aalam (alam semesta), al-‘alamah (tanda/ayat).
Adapun lawan kata dari ‘ilm adalah al-jahl (kebodohan). Artinya, orang yang bodoh ialah orang yang tidak memiliki ilmu dalam dirinya. Ibn Mandzur mengatakan bahwa ilmu melibatkan dimensi perasaan. Yaitu merasakan adanya kebaikan (khair) di dalam sesuatu. Dengan kata lain, ilmu itu mengandung manfaat, baik bagi pemilik ilmu tersebut maupun orang lain.
Namun, di Indonesia, kosa kata ilmu digunakan dengan maksud yang berbeda dengan pengetahuan. Hal ini merupakan dampak penyamaan pengertian antara ilmu dengan science, sedangkan pengetahuan disamakan dengan knowledge dalam bahasa Inggris. Adapun dalam bahasa Belanda, kata ilmu disamakan dengan “wetenschap”, dalam bahasa Jerman disebut dengan “wissenchaft”. Dari pengertian itulah ditarik kesimpulan bahwa ilmu atau sains berfungsi untuk menjelaskan suatu gejala menurut sebab-akibat (causality). Hal ini tentu sangat berbeda dari hakekat konsep ilmu dalam perspektif Islam.
Pada hakekatnya, ilmu dapat diperoleh siapa saja yang dapat menangkap sinyal tanda-tanda (al-‘alamah) yang tersurat dan tersirat dari alam semesta. Adapun alam semesta (al-‘aalam) memiliki medan makna yang juga dimiliki oleh konsep khalq yang memiliki arti ciptaan. Kata khalq pun yang merupakan bentuk derivasi dari khalaqa, memiliki korelasi dengan konsep akhlaq. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa seorang yang berinteraksi dengan alam semesta (dengan memikirkannya) harus menggunakan akhlaq yang baik.
Secara leksikal, kata ‘ilm memiliki makna yang berdekatan dengan konsep ma’rifah yang artinya mengetahui atau merasakan (syu’r). Selain itu, kata ‘ilm juga berarti al-yaqin (keyakinan). Ar-Raghib al-Asfahany dalam al-Mufradaat fi gharib al-Qur’an membagi ilmu ke dalam dua aspek yaitu aspek teoritis dan aspek aplikatif. Ilmu sebagai teori yang dimaksud oleh Raghib ialah aspek alam semesta yang dipahami secara benar oleh manusia. Proses memahami alam inilah yang disebut dengan aspek teoritis.
Sedangkan aspek aplikatif ialah sesuatu baru dapat dikatakan sebagai ilmu jika disertai dengan perbuatan sebagai wujud penghambaan diri kepada Allah SWT. Maka, orang yang berilmu ialah orang yang memahami alam semesta ini sebagai ciptaan Allah SWT dengan menggunakan akal sehatnya (‘aql) untuk kemudian melaksanakannya dalam kehidupan sehari-sehari sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT (Khaliq).
Namun, Abi Hilal al-Iskariy membedakan antara ilmu dengan ma’rifah. Ma’rifat, menurutnya lebih khusus dari pada ilmu. Sebab, ma’rifah merupakan “ilmu yang diperoleh dengan cara tertentu yang bisa jadi berbeda antara yang satu dengan yang lainnya”. Begitu pula yang disampaikan oleh Abdurrahman Shaleh Abdullah yang telah membedakan ilmu dengan ma’rifah. Baginya, ma’rifah merupakan pengetahuan yang didapatkan melalui interaksi dengan objek. Untuk itu, kedudukan ilmu secara konseptual lebih tinggi daripada ma’rifah karena ilmu tidak terbatas pada satu aspek pengetahuan saja.
Selain berkaitan dengan konsep ma’rifah, konsep ‘ilm juga terikat dengan konsep al-rasikh. Sebagaimana disampaikan oleh Abi Hilal al-Isykary bahwa ar-rasikh berarti kemampuan mengetahui suatu objek dengan argumentasi atau landasan yang cukup banyak dan relatif menetap. Hasil berpikir (mengetahui) seperti ini sangat sulit untuk hilang atau lupa. Hal ini tentu berbeda dengan orang yang mengetahui tapi dengan argumen yang terbatas, maka ia tidak dapat disebut sebagai ar-rasikh. Makna tersebut lebih menguatkan konsep ilmu yang memperhatikan hasil observasi sebagai salah satu penguat proses mengetahui.
Konsep ilmu juga terkait dengan konsep al-fathanah yang berarti kemampuan memahami makna-makna. Adapun lawan kata dari al-fathanah ialah al-ghaflah. Dalam konteks makna ini dapat dikatakan bahwa setiap fathanah ialah ilmu, akan tetapi tidak setiap ilmu adalah fathanah. Selain itu, konsep ilmu dalam leksikal arab dapat diketahui melalui padanan katanya yaitu al-fahm dan al-fiqh. Al-fahm mencakup kemampuan seseorang dalam menangkap makna-makna yang didengarnya saja. Maka, al-fahm berarti pengetahuan terhadap makna-makna pembicaraan berdasarkan hasil pendengarannya.
Lain halnya dengan al-fiqh. Al-fiqh merupakan pengetahuan yang muncul sebagai hasil berpikir yang dimanifestasikan dalam bentuk verbal. Kedua konsep yang saling mendukung ini sama-sama menekankan pada fungsi indra manusia yaitu pendengaran sebagai proses penerimaan objek pengetahuan dan mulut sebagai bentuk penyampaian pengetahuan.

Konsep ilmu dalam Islam juga dapat dipahami melalui konsep al-hiss dan al-idrak. Sebagaimana disampaikan sebelumnya bahwa ilmu berarti mengetahui (idrak) hakekat sesuatu, maka al-hiss merupakan proses awal dari mengetahui hakekat sesuatu tersebut. Adapun konsep al-Idrak lebih menunjuk kepada pengetahuan yang diperoleh dari hal-hal yang ada. Namun, bagi Gulen, ilmu ialah pengetahuan tentang berbagai manifestasi sistem ilahiah dan keterkaitan susunan, serta keteraturan segala sesuatu di alam ini. Artinya, segala yang ada di alam semesta ini adalah tiruan dari sifat Allah SWT untuk diketahui oleh manusia. Yang mana, semua elemen ilmu tersebut tidak dapat dilepaskan dari unsur keTuhanan.
Pembicaraan mengenai proses berpikir dalam konteks konsep ‘ilm, al-Ghazali lebih mengarah pada definisi ilmu dan batas-batas ilmu. al-Ghazali mendefinisikan ilmu sebagai “mengetahui sesuatu berdasarkan hakekatnya”. Lebih lanjut, al-Ghazali mengatakan bahwa ilmu merupakan “salah satu sifat Allah”. Atas dasar ini, ia menegaskan bahwa ilmu pada dasarnya tidak jelek. Namun, ia menjadi jelek karena manusia. Artinya, ilmu memiliki batasan-batasan yang harus dipegang dan tidak boleh dilampaui. Adapun batasan-batasan yang mampu menjadikan ilmu itu jelek menurut al-Ghazali ialah 1) Jika membahayakan pemiliknya atau orang lain, 2) Jika membahayakan pemiliknya pada umumnya, 3) Jika mendalami ilmu yang tidak berguna, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain.
Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, kata ‘Ilm seringkali dipahami dengan istilah yang bermacam-macam. Seperti sains, pengetahuan, ilmu, dan ilmu pengetahuan. Mungkin, istilah-istilah tersebut digunakan hanya untuk menyederhanakan konsep ilmu saja. Akan tetapi, ketika dikaji secara makna konseptual, keempat istilah tersebut memiliki perbedaan yang mendasar.
Masing-masing terminologi mengandung substansi makna yang berbeda. Selain itu, istilah tersebut pun memiliki bobot kebenaran yang tidak sama. Kata ‘ilm misalnya, kata tersebut tidak bisa diartikan secara serampangan dengan pengetahuan, sebab kata ‘ilm merupakan konsep yang terikat dengan konsep Allah SWT sebagai al-‘Aliim. Artinya, konsep ‘ilm sangat sarat dengan nilai-nilai keTuhanan yaitu mengetahui dengan memahami apa yang telah Allah SWT tunjukkan melalui wahyu-Nya.
Hal ini tentu berbeda dengan konsep pengetahuan atau sains. Ketika menggunakan kedua istilah tersebut, harus disertai dengan pemahaman sebagai pengalaman sehari-hari yang belum menjadi suatu bangunan sistemik dalam satu konsep sehingga kedudukan kedua terminologi tersebut tidak dapat disamakan dengan ‘ilm. Bobot kebenarannya pun berbeda. Ilmu memiliki bobot kebenaran lebih tinggi daripada pengetahuan. Jika ditinjau secara ideologis dan tradisi intelektual, antara ‘ilm dan sains memiliki latarbelakang sumber yang berbeda. Selain itu, dalam hal konsekwensi keilmuan pun jelas sangat berbeda. Dengan demikian, kita tidak dapat menyamakan atau bahkan menggantikan konsep ‘ilm dengan konsep sains (science).
Dalam tradisi keilmuan Islam, sains tidak mampu menghasilkan kebenaran absolut. Namun, istilah yang paling tepat untuk mendefinisikan pengetahuan adalah al-‘ilm, sebab, konsep ‘ilm memiliki dua komponen mendasar. Pertama, bahwa sumber segala pengetahuan ialah wahyu yang mengandung kebenaran absolut. Kedua, bahwa metode mempelajari pengetahuan yang sistematis semuanya sama-sama valid, semuanya menghasilkan bagian dari satu kebenaran dan realitas yaitu bagian yang sangat bermanfaat untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi.
Salah satu pemikir yang peduli dengan kajian konseptual ialah Naquib Al-Attas. Ia mendefinisikan ilmu sebagai tibanya makna ke dalam jiwa bersamaan dengan tibanya jiwa kepada makna dan menghasilkan hasrat serta kehendak diri. Tibanya makna ke dalam jiwa berarti Tuhan sebagai sumber asal pengetahuan, sedangkan tibanya jiwa kepada makna menunjuk kepada jiwa manusia sebagai penafsirnya. Menurut al-Attas ilmu adalah kesatuan antara orang yang mengetahui dengan makna, dan bukan antara yang mengetahui (subyek ilmu) dengan yang diketahui (obyek ilmu). Unsur-unsur makna ini dikonstruksikan oleh jiwa dari obyek-obyek yang ditangkap oleh indera ketika jiwa menerima iluminasi dari Allah SWT, dan berarti unsur-unsur tersebut tidak terdapat dalam obyek-obyek yang ada.
Dalam al-Qur’an kata-kata ‘ilm dengan semua bentuk turunannya kurang lebih diulang sebanyak 854 kali. Konsep ilmu memiliki makna relasional dengan konsep manusia dan konsep Allah SWT sebagai Yang Maha Mengetahui. Dalam hal ilmu dan objeknya dapat diteliti melalui makna dari surat Al-Kahfi : 65, Al-Haqqah : 38-39, An-Nahl : 8, Al-Israa : 85. Adapun proses manusia untuk mengetahui sesuatu dapat dilacak melalui surat An-Nahl : 78, Yunus : 101, Al-Ghasiyah : 17-20, As-Syu’ara : 7, Ar-Ruum : 7. Namun, yang paling mendasar dari itu semua ialah makna yang dikandung oleh surat Al-‘Alaq : 1-5 yang berbicara mengenai perintah untuk mencari ilmu pengetahuan dengan nama Allah SWT sebagai Sang Pencipta alam semesta (objek ilmu). Dengan demikian, konsep ilmu dalam al-Qur’an menunjuk pada proses mencari pengetahuan serta objek yang harus diketahui oleh manusia.
Penekanan akan pentingnya ilmu sebenarnya telah berawal seiring dengan masa nabi Adam as. Sebagaimana yang disampaikan Allah SWT dalam surat al-Baqarah : 32 yang mana Allah SWT mengajari nabi Adam as. semua nama-nama makhluk-Nya yang ada di alam semesta. Artinya, perintah mencari ilmu pun turun bersamaan dengan kejadian tersebut. Untuk memahami alam semesta tentu manusia membutuhkan ilmu. Dan ilmu hanya datang dari Yang Maha Mengetahui yaitu Allah SWT. Dengan demikian, konsep ilmu dalam al-Qur’an terikat juga dengan konsep Allah dan konsep alam semesta sebagai makhluk Allah.
Abi Hilal Al-Asykariy mengatakan dalam kitabnya al-Furuq al-Lughawiyyah bahwa konsep ilmu memiliki keterikatan juga dengan konsep akal (‘aql). Dalam hal ini, ia menegaskan bahwa akal adalah ilmu yang pertama yang mampu mencegah manusia (sebagai pemilik akal) untuk berbuat hal-hal yang buruk. Sebab, akal berfungsi untuk menjaga, maksudnya ialah menjaga manusia untuk tidak terjerumus dalam penghambaan kepada makhluk.
Konsep ilmu memiliki makna korelasi dengan konsep tadzakkur. Dalam konteks tata bahasa (grammatical) dalam surat al-Baqarah : 239 misalnya, Allah menggunakan kata “dzikr (fadzkurullah)” untuk memerintah manusia menggali kembali apa yang belum pernah diketahui sebelumnya. Artinya, objek ilmu sebagai al-ma’lum (alam semesta dan seisinya) telah disediakan oleh Allah SWT, adapun ilmu manusia tentang al-ma’lum tersebut sangat bergantung kepada upaya manusia memahami objek-objek ilmu. Maka, tidak heran jika ilmu seseorang berbeda dengan ilmu orang lain. Bisa jadi, ini lebih disebabkan karena upaya manusia yang berbeda-beda pula dalam memahami ilmu Allah SWT. Selanjutnya….
One Response