Konsep Akal : Dimensi Hati Sebagai Pengikat Ilmu Pengetahuan

Konsep Akal Dalam Islam

Untuk mengetahui makna akal, kita dapat menganalisa melalui makna aslinya. Dalam al-Mu’jam al-Wasith, kata akal disebutkan dengan istilah al-‘Aql. Kata tersebut merupakan salah satu bentuk derivasi dari akar kata “aqala’ yang berarti “memikirkan hakekat di balik suatu kejadian” atau rabatha (mengikat).

Dalam tradisi Arab Jahiliyyah, kata aqala seringkali digunakan untuk menunjuk suatu “pengikat unta” (‘aql al-ibil). Selain itu, kata ‘aql juga memiliki makna al-karam (kemuliaan), maksudnya adalah orang yang menggunakan akalnya sesuai petunjuk Allah SWT dapat disebut sebagai orang yang berakal (‘aqil) dan ketika ia istiqamah dengan hasil pemikirannya yang benar maka ia menjadi mulia dengan hakekat-hakekat yang diketahuinya tersebut.

Dari akar kata yang sama (aqala) juga didapatkan turunan lainnya. Misalnya dalam bentuk kata kerja yaitu ta’aqqul (berpikir). Ta’aqqul berarti habasa (mengikat) atau menahan atau mencegah. Istilah tersebut juga dapat diartikan dengan tafakkur (berpikir), dan pemahaman (tafaqquh).

Dengan berpikir inilah manusia hendaknya mampu membedakan antara khair (baik) dan syarr (buruk), haqq (benar) dan bathil (salah). Dalam dunia kedokteran, kata al-‘aqul (satu akar dengan aql) digunakan untuk menunjuk “obat penahan sakit perut”. Menurut Sibawaih (ulama Nahwu), akal merupakan sifat hati.

Kata al-‘aql di dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 49 kali. Dalam bahasa Arab, makna dasar dari kata ‘aql adalah al-imsak (menahan). Disebut demikian karena akal mampu menahan manusia yang menggunakannya untuk melakukan hal-hal yang tidak benar.

Manusia yang mampu menggunakan akalnya secara benar akan memperoleh ilmu pengetahuan yang benar pula. Oleh sebab itu dalam al-Qur’an disebutkan bahwa manusia yang ‘alim adalah mereka yang mampu mengoptimalkan akalnya dalam memahami sesuatu.

Akal merupakan kemampuan yang diberikan oleh Allah SWT untuk memahami suatu ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi manusia. Adapun akal terbagi menjadi dua kategori yaitu akal yang bersifat naluriah yang suci (fithrah), dan akal yang diperoleh melalui pencarian ilmu (muktasab).

Akal muktasab juga terbagi ke dalam dua kategori yaitu baik dari upaya pencarian, percobaan, analisa, dengan mengandalkan pengetahuan duniawi, dan juga akal yang didapatkan dari ilmu akhirat atau bersifat ilhamy.

Akal merupakan dimensi hati yang menjadi sarana untuk mengikat ilmu, tanpa akal maka manusia akan menjadi lemah dan tidak mengetahui hakekat ilmu Allah SWT. Al-Maidani mengatakan bahwa ad-Dimagh (otak) terletak pada organ kepala manusia, dan otak adalah tempat untuk berpikir.

Dan ketika manusia menggunakan akal maka manusia akan melakukan beberapa proses berpikir yaitu at-tafakkur, at-tafaqquh, at-tadzakkur, dan at-tadabbur. Proses yang melibatkan konsep dasar berpikir inilah yang akan mengantarkan manusia kepada kemampuuan memperoleh ilmu pengetahuan.

Al-Qur’an seringkali menggunakan istilah “la’allakum ta’qilun” dalam memberikan isyarat kepada manusia untuk mempergunakan akalnya dengan benar. Lafadz “la’allakum” berarti suatu harapan (raja’). Allah SWT seringkali menjelaskan ayat kauniyyah agar manusia memikirkan hakekat dibalik penciptaan untuk mencapai kepada tingkat ketaqwaan yang sesungguhnya.

Adapun menurut al-Qur’an, organ manusia yang berpikir ialah hati (al-qalb). Memang posisi akal dalam hal ini tidak dapat diindra sebagaimana posisi mata dalam diri manusia. Akan tetapi,  posisi akal dalam hati dapat dianalogikan sebagaimana posisi jiwa (al-nafs) dalam tubuh manusia. Antara keduanya menjadi kesatuan yang saling melengkapi. Antara hati dan akal tidak dapat dipisahkan begitu saja sebab keduanya bukanlah materi sebagaimana tangan kanan dan kiri yang jelas posisinya.

Ketika berbicara tentang akal maka secara tidak langsung juga menyinggung hati sebagai organ yang berpikir. Penjelasan lebih detailnya dapat kita pelajari lebih lanjut melalui karya-karya Imam al-Ghazali, Hakim at-Tirmidzi, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah dan Ibn Rusyd.

Dalam sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa akal merupakan ciptaan Allah yang paling baik dan paling mulia.. Sebab, pada akal inilah Allah memberikan cahaya-Nya untuk menuntun manusia ke jalan yang lebih baik.

عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : لما خلق الله تعالى العقل قال له: قم، فقام ثم قال له: أدبر، فأدبر، ثم قال له: أقبل فأقبل، ثم قال له : أقعد، فقعد. فقال الله تعالى : ما خلقت خلقا خيرا منك، ولا أكرم منك، ولا أفضل منك، ولا أحسن منك، بِكَ آخُذُ، وَبِكَ أُعْطِي، وَبِكَ أُعِزُّ، وَبِكَ أُعْرَفُ، وَإِيَّاكَ أُعَاتِبُ، بِكَ الثَّوَابُ، وَعَلَيْكَ الْعِقَابُ (أخرجه الطبراني(

Terjemahan bebasnya yaitu ketika Allah menciptakan akal dan Allah menyuruhnya untuk berdiri maka akal akan berdiri, Allah menyuruh berpikir maka akal akan berpikir, Allah menyuruh untuk duduk dan tunduk maka akal pun melakukannya.

Sesungguhnya Allah tidak menciptakan makhluk yang lebih baik dari akal, dan tidak lebih mulia dari akal, tidak lebih utama dari akal, berdasarkan akal inilah Allah memberi, memuliakan, memberikan balasan, atas dasar akal juga manusia dapat mengetahui Allah SWT, dan karena akal jugalah manusia akan diberi hukuman atas segala yang diperbuat.

Dalam bahasa Inggris, akal (reason) seringkali diartikan dengan “the power of the mind to think, understand.” atau kemampuan otak untuk berpikir. Dalam perspektif ini terlihat perbedaan secara konseptual. Berbeda dengan bahasa al-Qur’an yang mendefiniskan akal sebagai kemampuan hati untuk berpikir. Atas dasar inilah al-Qur’an menggunakan terminologi “qulubun ya’qilun biha dan bukan “dimaghun ya’qilu”.

Perbedaan tersebut tentu tidak dapat dianggap sebagai hal yang sepele, sebab antara hati (qalb) dan otak (mind) memang sangat berbeda secara esensinya. Orang yang hatinya mati, dalam al-Qur’an disebut dengan “kafir”, sedangkan orang yang otaknya tidak berfungsi secara baik biasa disebut dengan istilah “orang gila”. Dan tidak semua orang kafir bisa disebut “orang gila”. Ini menunjukkan bahwa secara gramatikal ketika kedua istilah tersebut digunakan baru akan terlihat perbedaannya.

Secara epistemologi terdapat perbedaan mendasar antara cara pandang Barat dan Islam dalam memahami konsep akal. Filsafat Barat memahami akal setidaknya dengan dua istilah, yaitu intellect (intelek/kecerdasan) dan reason (rasio/akal). Mereka mengklasifikasikan intelek (intelectus) sebagai alat yang berfungsi untuk merenungkan hakekat ruhaniah, dan rasio (ratio) untuk memahami serta menguasai alam dhahir. Terminologi rasio berhubungan dengan istilah kognisi (fungsi akal). Dalam pemikiran Barat, yang terlihat dari diri manusia hanyalah rasio.

Pemikiran yang demikian dapat kita lihat dari perspektif kaum modernis yang memandang rasio sebagai alat yang sangat vital, sentral, dominan, serta paling utama dalam membentuk wajah peradaban manusia. Dengan perspektif tersebut mereka telah mewarnai agama Kristen dengan memisahkan kepercayaannya pada ilmu dan keyakinan terhadap tuhan. Pemahaman Barat seperti ini pada perkembangannya telah berhasil menciptakan berbagai macam paham yang sangat berbahaya seperti sekularisme, dualisme, humanisme, liberalisme, dan lain sebagainya yang semuanya melandaskan pemikirannya kepada paham rasionalisme.

Sedangkan dalam Islam, sebagaimana diungkapkan oleh Imam al-Ghazali bahwa antara akal (al-‘aql) dan hati (al-qalb) tidak dapat dipisahkan. Sebab substansi antara keduanya sama halnya substansi konsep an-nafs dan ar-ruh yang mana keduanya menunjuk hal yang satu yaitu jiwa. Adapun perbedaan yang terdapat antara konsep-konsep tersebut terletak pada posisi serta fungsi dari setiap esensi (jauhar) masing-masing.

Sedangkan akal dan hati memiliki kemampuan untuk membentuk karakteristik pada jiwa manusia serta semua perilakunya. Hal senada juga disampaikan oleh Baharuddin bahwa Al-Aql dan al-Qalb merupakan dua unsur yang menentukan kadar dan nilai kejiwaan manusia, sebagai karakteristik manusia dan memberikan ciri khas dalam dimensi nafs. Mungkin atas dasar kajian konseptualnya inilah al-Ghazali sampai pada kesimpulan bahwa manusia terdiri dari dua elemen dasar yaitu jasmani (substansi material) dan rohani (substansi immaterial).

Lebih lanjut, dalam kitabnya Kimya’ as-Sa’adah, al-Ghazali mendeskripsikan jiwa manusia. Menurutnya, tubuh manusia layaknya sebuah kota, dan hati (Qalb) sebagai rajanya, badan (Jism) adalah daerah kekuasaannya, akal (‘Aql) sebagai perdana menteri, syahwat bagaikan gubernur wilayah daerah tersebut, amarah adalah musuh, dan anggota badan (jawarih) sebagai tentara kerajaan.

Dalam suatu sistem pemerintahan, seorang raja memiliki kewajiban dalam mengatur masyarakatnya serta menjalin kerjasama yang harmonis dengan perdana menterinya. Sebab, perdana menteri memiliki kemampuan daya nalar berpikir yang berguna untuk menjaga keadaan negara yang aman. Terutama dalam mengontrol kerja gubernur dan mengawasi para musuhnya.

Apabila kerja organ tubuh (jasmani dan rohani) manusia itu sesuai dengan apa yang telah digambarkan oleh Imam al-Ghazali maka bisa dipastikan jiwa seseorang tersebut akan baik dan begitu pula sebaliknya. Artinya, untuk menciptakan kondisi yang baik (khair) dalam diri manusia dibutuhkan integrasi atau kerjasama antar semua unsur tubuh baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat. Dan kondisi tubuh yang baik tersebut hanya akan tercipta apabila hati (qalb) seseorang itu mampu bekerja sesuai fungsinya yaitu untuk membedakan baik dan buruk

Lebih terperinci lagi al-Ghazali membedakan antara substansi dan daya yang ada dalam diri manusia. Baginya, akal merupakan substansi sedangkan daya dibagi menjadi dua bagian yaitu daya bathini (internal) dan daya dzahiri yang meliputi seluruh anggota badan (eksternal). Akal berfungsi untuk menggerakkan daya tangkap dari dalam (batin) sebagaimana daya imajinasi (mutakhayyilat), pengingat (dzakirat), estimasi (wahmiyat), representasi (khayaliyyat), dan indra bersama (al-hiss al-musytarak) yang mana semua fungsi tersebut terdapat dalam organ tubuh manusia yang disebut dengan rongga otak manusia.

Akal merupakan dimensi jiwa manusia yang tergolong unik. Akal manusia terletak pada dimensi psikis manusia dari aspek nafsiah yang berada di antara dua dimensi lainnya yang saling berbeda dan berlawanan, yaitu berada di antara dimensi al-nafs dan dimensi al-qalb. Akal menjadi penengah kepentingan kedua dimensi yang berbeda tersebut.

Adapun dimensi al-nafs memiliki kecenderungan kepada sifat kebinatanganan, sedangkan dimensi al-qalb memiliki sifat dasar kemanusiaan dan berdaya cita rasa. Dengan adanya posisi yang demikianlah konsep akal menjadi penghubung antara kedua dimensi tersebut. Dimensi ini berperan penting sebagai pikiran manusia.

Berdasarkan kemampuannya, akal memiliki beberapa karakter. Akal dapat disebut dengan istilah al-hujjah, karena akal mampu memperoleh bukti-bukti dengan argumentasi logis dan mampu melahirkan konsep-konsep dengan cara mengaktualisasikan hal-hal yang abstrak.

Konsep akal juga disebut dengan al-hijr. karena akal mampu menahan diri dari hal-hal yang dilarang dan menolak hal-hal yang tidak logis. Selain itu, akal juga disebut dengan al-nuha, karena akal menjadi puncak kemampuan manusia di bidang kecerdasan, pengetahuan, penalaran, dan lain-lain.

Apabila akal beraktifitas sebagaimana adanya, tanpa melibatkan daya qalb, maka ia hanya berpikir secara rasional tanpa disertai dengan berdzikir atau perbuatan spiritual lainnya. Berdasarkan objek berpikir, akal dapat dibedakan menjadi dua yaitu akal jasmani dan akal rohani.

Konsep akal jasmani yaitu akal yang terdapat di kepala atau yang lazim disebut dengan otak (ad-dimagh). Adapun objek pemikirannya yaitu hal-hal yang bersifat sensoris dan empiris. Sedangkal akal rohani berfungsi untuk memahami hal-hal yang bersifat abstrak, akal ini hanya bisa dirasakan tapi tidak dapat dilihat cara kerjanya. Ruang lingkupnya ialah ranah metafisika, seperti memahami proses penciptaan langit dan bumi. Hal ini dapat kita telaah melalui surat Ali Imran : 190-191 berikut ini:

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأولِي الألْبَابِ * الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Artinya :

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka. (Q.S. Ali Imran : 190-191)

Kajian tentang posisi akal memang selalu menarik untuk dikaji. Seorang pakar Fisiologi yang bernama Wilder Benvield mencoba untuk meneliti dan ingin membuktikan aktivitas akal secara empiris bahwa kerja akal berjalan di rongga otak manusia. Ia melakukan penelitian tersebut kurang lebih dari tahun 1930 hingga 1975. Akan tetapi penelitian tersebut berakhir pada kesimpulan bahwa kerja akal tidak terletak di dalam rongga otak.

Penemuan tersebut telah diungkap secara jelas dalam bukunya yang berjudul The Mystery of Mind. Adapun kesimpulan akhir yang digagas oleh Wilder Benvield bahwa konsep akal bukan otak sebagaimana dipahami oleh masyarakat umum selama ini. Namun akal merupakan sifat yang mampu mengawasi dan mengarahkan dalam waktu yang bersamaan. Kesimpulan ini senada dengan apa yang telah diungkapkan oleh Hakim Tirmidzi bahwa akal merupakan sifat hati.

Namun, terlepas dari perbedaan pendapat mengenai posisi akal (antara di dalam organ hati atau dalam otak) pada hakekatnya yang terpenting daripada itu semua yaitu pemahaman yang benar terhadap konsep akal beserta fungsinya dalam upaya membedakan antara yang baik dan buruk. Serta mengetahui hakekat akal dan menggunakannya sesuai dengan ajaran Allah SWT.

Dalam aspek lain, konsep akal berkaitan erat dengan konsep ilmu (al-‘Ilm). Al-Ashfahany mengungkapkan bahwa akal merupakan daya atau kekuatan yang berfungsi untuk menerima dan mengikat ilmu. Atas dasar itulah orang yang mampu menggunakan fungsi akalnya dengan benar disebut juga dengan alim (al-‘alim). Sebagaimana digambarkan dalam surat al-Ankabut : 43 bahwa orang yang alim ialah manusia yang mampu mengambil manfaat dari perumpamaan yang telah disampaikan Allah SWT.

وَتِلْكَ الأمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلا الْعَالِمُونَ

Artinya:

Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu. (Q.S. Al-Ankabut : 43)

Mengenai ayat di atas At-Thabari menafsirkan, ungkapan al-‘alimun menujuk pada mereka yang mengetahui tanda-tanda kekuasaan Allah SWT dengan penuh keimanan kepada-Nya. Artinya, konsep berpikir atau konsep akal sangat berkaitan dengan konsep iman. Sebab tujuan diberikannya tanda-tanda kekuasaan Allah SWT ialah untuk menunjukkan kebenaran agama Allah supaya manusia beriman dengan pengetahuan yang telah dimilikinya tersebut.

Hal yang sama juga diungkapkan dalam al-Mu’jam al-Muhith bahwa akal adalah ilmu. Akan tetapi ungkapan tersebut digunakan sebagai majaz untuk menunjuk konsep akal sebagai sumber dan pengikat ilmu atau hasil yang didapatkan dari aktifitas menggunakan akal.

Abd. Ar-Rahman Hasan dalam karyanya Al-Akhlak Al-Islamiyyah wa Asasuha menjabarkan proses berpikir manusia. Menurutnya, proses berpikir berawal dari proses mengikat makna suatu pengetahuan, proses ini terdapat dalam konsep akal atau disebut juga dengan ta’aqqul yaitu proses mengikat makna suatu pengetahuan. Setelah seseorang mengikat pengetahuan maka ia dapat dikatakan sebagai orang yang  mengetahui (al-‘alim) suatu objek atau tanda-tanda (ayat), esensi ini terkandung dalam konsep ilmu (al’-ilm).

Akan tetapi tidak cukup sampai di situ. Aktifitas berpikir manusia harus bersifat terus-menerus. Dan setelah seseorang mengetahui suatu tanda (ayat) maka ia selanjutnya harus memikirkan hakekat yang terkandung di balik tanda tersebut, proses ini disebut dengan tafakkur. Dan ketika seseorang telah mendapatkan pelajaran dari aktifitas berpikir tersebut maka yang harus dilakukan ialah memahaminya secara benar dan mendalam, proses memahami hasil (natijah) proses berpikir itu disebut dengan tafaqquh.

Setelah seseorang memahami suatu ilmu maka yang harus dilakukan selanjutnya ialah mengingat apa yang telah ia pahami dari hakekat tersebut. Proses seperti ini disebut dengan tadzakkur. Dan ketika manusia selalu mengingat ilmu yang telah ia pahami maka upaya terakhir yang seharusnya dilakukan oleh orang yang berpikir ialah tadabbur atau melihat kembali hakekat dari suatu peristiwa atau ilmu yang telah dipelajari sebelumnya.

Untuk memahami konsep berpikir secara mendalam tentu saja tidak sesederhana gambaran di atas. Akan tetapi perlu dipahami bahwa setiap istilah-istilah kunci dalam proses berpikir tersebut masih membutuhkan penjabaran secara mendetail lagi. Dan untuk memahami hakekat istilah kunci yang menunjuk proses berpikir yaitu tafakkur, tadzakkur, tadabbur, dan ta’aqqul akan dibahas pada bab selanjutnya.

2 Responses

Leave a Reply to Konsep Ilmu Dalam Islam Dan Implikasinya Dalam Kehidupan [part.2] – Muhammad Ismail | Educator, Author & Blogger Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *