Ini adalah lanjutan dari artikel Islam Moderat : Antara Propaganda dan Jalan Tengah
***
Pasca terjadinya Arab Spring kini negara-negara Islam di Timur Tengah cenderung mencari “wajah baru yang lebih ramah”. Islam Moderat dianggap sebagai ideologi yang ideal karena dapat menerima perbedaan dalam beragama, toleransi, damai dan menjunjung tinggi perbedaan. Banyak yang berharap Islam Moderat mampu menjadi solusi penyelesaikan konflik di berbagai wilayah, khususnya Timur Tengah.
Sebagaimana dilansir The Guardian, Muhammad bin Salman al-Saud, seorang Putra Mahkota kerajaan Arab Saudi telah menyatakan akan mengembalikan Kerajaan Saudi menjadi Islam Moderat. Ia pun meminta dukungan kepada dunia global untuk mengubah dari wajah Saudi yang kaku menjadi terbuka. Ia pun menjanjikan kestabilan investasi dengan membuka zona ekonomi independen yang membentang sepanjang Saudi, Yordania, dan Mesir. Harapannya, sang putra mahkota mampu mengakhiri rezim konservatif dan tampil dengan wajah baru yaitu Islam Moderat.
Sejak Arab Saudi memutuskan untuk merubah idealismenya, kini hubungannya dengan Amerika semakin dekat. Hal yang mengejutkan terjadi sejak hadirnya Donald Trump dalam acara Arab Islamic American Summit yang diadakan pada Mei 2017. Pasca pertemuan tersebut, Amerika bersama Arab Saudi, Mesir, Bahrain, Uni Emirat Arab menuduh Qatar sebagai pihak yang mendanai terorisme terutama ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria). Akhirnya, negara Arab memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Qatar. Hal ini mempertegas bahwa hegemoni Amerika sangat kuat terhadap Timur Tengah.
Selain Timur Tengah, Indonesia juga ikut menjadi promotor Islam Moderat. Hal ini dibuktikan dengan diadakannya berbagai konferensi yang membahas moderasi Islam. Pada tanggal 9-11 Mei 2016 telah dilaksanakan “International Summit of The Moderate Islamic Leaders”, di Jakarta Convention Center. Konferensi pimpinan umat Islam moderat yang dihadiri oleh 300 ulama berasal dari 35 negara ini memiliki agenda penting yaitu merumuskan karakter Islam Moderat.
Selanjutnya, pada tanggal 1 Mei 2018 wacana Islam Moderat kembali dibahas pada acara Konsultasi Tingkat Tinggi Muslim Dunia yang dilaksanakan di Istana Bogor serta pada Konferensi Ulama Islam yang dilaksanakan pada 26-29 Juli 2018 di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Konferensi Ulama Internasional yang diselenggarakan Organisasi Ikatan Alumni al-Azhar (OIAA) Indonesia tersebut menghasilkan Lombok Message yang berisi 9 rekomendasi di antaranya menentang tindakan ekstremisme dan terorisme serta menegaskan bahwa paham sektarian, rasisme, diskriminasi dalam bentuk apapun bertentangan dengan prinsip wasathiyyah Islam.
Sejak konferensi tingkat dunia tersebut dilaksanakan banyak negara Timur Tengah yang mempelajari karakter Islam Moderat di Indonesia. Karakter Islam Moderat di Indonesia dianggap ideal karena berhasil menghadirkan wajah Islam yang inklusif, toleran, ramah, dan damai. Muhammad Iqbal Suma dalam bukunya Dinamika Wacana Islam (2014:64) mengatakan Islam Moderat harusnya mampu mempertautkan antara kearifan lokal dan memanfaatkan nilai-nilai modernitas. Ia berpendapat bahwa Islam Moderat di Indonesia seharusnya mengakomodir dan memperjuangkan demokrasi, HAM, pluralisme, dan kesetaraan gender.
Iqbal mengklaim bahwa organisasi yang dianggap memenuhi kriteria Islam Moderat di Indonesia adalah Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah. Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa klaim Iqbal masih perlu eksaminasi dan pembuktian yang lebih konkrit. Sebab, sepengetahuan penulis, hingga saat ini belum ada penelitian yang secara serius dan mendalam terkait karakter Islam Moderat dari kedua organisasi tersebut.
Karakter Islam Moderat yang mencoba dihadirkan oleh Timur Tengah dan Indonesia sangat identik dengan rumusan Rand Corporation (Lembaga kajian strategis Amerika Serikat). Yang menjadi permasalahan adalah apakah konsep moderat yang dirumuskan oleh Barat memiliki kesamaan makna dengan pandangan hidup (worldview) Islam. Inilah yang perlu dikaji kembali agar umat Islam tidak terjebak dalam distorsi terminologi.
Kerancuan Terminologi Moderat ala Barat

Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini terminologi Islam Moderat telah berkembang pesat di berbagai negara muslim. Memang terminologi tersebut masih debatable di antara pengkaji dan pemikir Islam. Meskipun demikian kita tetap harus objektif dalam menganalisa agar tidak terjadi misconception terhadap terminologi tersebut.
Graham E. Fuller pernah menulis dalam The American Journal of Islamic Social Science bahwa muslim moderat yaitu mereka yang meyakini demokrasi, toleransi, dan melakukan pendekatan anti-kekerasan. Angel Rabasa dalam Building Moderate Muslim Networks (2007:66) menjelaskan bahwa karakteristik Islam Moderat adalah mendukung demokrasi, mengakui Hak Asasi Manusia (termasuk kesetaraan gender dan kebebasan dalam beragama), menghormati sumber hukum non-sektarian, menentang terorisme serta bentuk kekerasan lainnya.
Lebih ekstrim lagi, Ariel Cohen dalam tulisannya “Power or Ideology: What the Islamists Choose Will Determine Their Future” (2005:1-5) mendefinisikan moderat sebagai sikap menghormati hak orang lain dalam menafsirkan kitab suci al-Qur’an, menghormati hak beribadah dengan sesuka hati, mengusahakan kompromi dan dialog dengan orang non-Muslim.
Pemahaman moderat menurut Graham E. Fuller Ariel Cohen, dan Angel Rabasa sangat kental dengan nuansa Liberal, anti Islam dan pro-Barat. Sebab muslim moderat bagi mereka seharusnya mengajak sesama manusia kepada iman menggunakan akal (rasional) bukan dengan paksaan dan ancaman. Maka tidak heran jika Cohen menyebut Amina Wadud, Abdul Hadi Palazzi, Shirin Ebadi sebagai tokoh yang moderat meskipun pemikiran mereka bertentangan dengan Islam.
Sikap yang berbeda justru ditunjukkan John L. Esposito, direktur Center for Muslim-Christian Understanding di Georgetown University dalam bukunya Moderate Muslims: A Mainstream of Modernists, Islamist, Conservatives, and Traditionalists (2005:11-13). Menurutnya, apabila definisi moderat menurut Barat diterima maka sebagai konsekwensinya muslim yang dikategorikan sebagai tradisionalis dan konservatif menjadi tidak moderat. Esposito juga mengkritik labelisasi moderat dari sudut pandang Barat. Mendefinisikan muslim moderat di tengah asosiasi Islam dengan terorisme global menjadi sangat problematik. Sehingga mendefinisikan muslim moderat sangat tergantung pada politik serta posisi keagamaan orang yang menilai.
Kerancuan berpikir Barat juga terlihat dengan dinobatkannya Irshad Manji sebagai The Voice of Moderation. Padahal ia seorang feminis yang telah mengkritik Syariah Islam melalui bukunya The Trouble with Islam: A Muslim’s Call for Reform in Her Faith. Artinya, seorang muslim akan disebut moderat jika telah berani mengkritik agamanya. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan pandangan hidup Islam.
4 Responses
Artikel yang bagus, Dr. Ismail.
Definisi memang penting. Ternyata apa yang dimaui oleh Barat tentang Islam Moderat tidak sama dengan yang kita pahami. Sangat menarik… Good job…
Jazakumullah khairan ustadz.